Selasa, 09 Desember 2008

JI'ALAH

Ji’alah (Sayembara)

Ji’alah menurut Bahasa: “Barang yang dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan”.

Menurut Istilah syara’: Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan .[1]

Ji’alah ialah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan. Misalnya seseorang kehilangan kuda, dia berkata, ”Barangsiapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian”.

1.1 Rukun ji’alah

1. Lafadz. Kalimat itu hendaklah mengandung arti izin kepada yang akan bekerja, juga tidak ditentukan waktunya.

2. Orang yang menjajikan upahnya. Orang yang menjanjikan upahnya tersebut boleh orang yang kehilangan itu sendiri atau orang lain.

3. Pekerjaan(mencari barang yang hilang).

4. Upah. Disyaratkan memberi upah dengan barang yang tertentu.

Jika orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum, ” Siapa yang mendapatkan barangku akan aku beri uang sekain.” kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi berserikat antara keduanya.

1.2 Yang membatalkan ji’alah

Masing-masing pihak boleh menghentikan(membatalkan) perjanjian sebelum bekerja. Jika yang membatalkannya orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah bekerja. Tetapi jika yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.[2]

1.3 Hukum Ji’alah

Dasar hukum ji’alah adalah Boleh, sebagai mana firman Allah dan Sabda Nabi SAW.

Firman Allah :

Artinya: ”Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperolaeh bahan makanan(seberat) beban unta.”(Q.S Yusuf : 72)

Persyaratan tersebut seperti upah. Persyaratan harus jelas, sebab sebagai ganti(upah) atau sebagai ongkos. Tidak boleh samar-samar, seperti: siapa yang mengembalikan budakku yang lari, maka ia akan saya beri pakaian.


[1] Abu Amar, Drs. Imron. Terjemah fathul qarib, Menara Kudus, Kudus: 1983 Hal. 302

[2] Rasjid, H. Sulaiman. Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung: 1994 Hal. 306