Senin, 23 November 2009

MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA 3 ( KASUS GONTOR )

BAB I
PENDAHULUAN
Pondok Modern Darussalam Gontor memiliki sejarah yang panjang, sejak sebelum berdirinya pondok ini, telah berdiri Pondok Tegalsari, kemudian masuk ke masa Pondok Gontor lama, yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin. Setelah redupnya pondok ini pada generasi ketiga yang dipimpin oleh Kyai Santoso Anom Besari, datanglah masa Pondok Gontor baru yang dimulai oleh KH. Ahmad Sahal, KH. Ahmad Fananie dan KH. Imam Zarkasyi.
Hingga saat ini, Pondok Modern Darussalam Gontor telah memasuki era kepemimpinan generasi kedua, yang dipimpin oleh KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA, KH. Hasan Abdullah Sahal, dan KH. Syamsul Hadi Abdan, S.Ag.













BAB II
Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia 3 (Kasus Gontor)
A. Sejarah Pondok Modern Darussalam Gontor
Lembaga-Pendidikan ini berbentuk “PONDOK” atau “PESANTREN” dengan suatu komplek tempat-tempat kediaman para siswa dan pengasuh-pengasuhnya, tempat belajar dan beribadah, tempat-tempat berekreasi, berolah raga dan sebagainya, beserta segala alat perlengkapannya.
Pendidikan di Pondok Modern mengutamakan pembinaan akhlaq, pembentukan mental/karakter (character-building). Pelajarannya diselenggarakan menurut sistem sekolah yang modern, dengan menggunakan metodik dan didaktik modern, serta senantiasa memperhatikan perkembangan dalam sistem pendidikan dan pengajarannya.
Itulah sebabnya masyarakat menamakan lembaga ini “PONDOK MODERN”; yang “modern” bukanlah tentang i‘tikadnya atau fahamnya dalam soal-soal keagamaan, melainkan mengenai SISTEM PENDIDIKAN dan PENGAJARAN yang digunakan.
Nama “PONDOK MODERN” adalah nama pemberian dari masyarakat. Adapun nama asli yang diberikan oleh pendirinya sendiri (didirikan pada tahun 1926) ialah “DARUSSALAM”.
Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG), yang biasa disingkat menjadi pondok Gontor atau pondok Modern, didirikan hari senin, 12 Rabi’ul Awwal 1345 atau 20 september 1926 oleh tiga bersaudara, yaitu K.H. Ahmad Sahal (1901-1977), K.H. Zainuddin Fannani (1905-1967), dan K.H. Imam Zarkasyi (1910-1985), yang selanjutnya disebut dengan generasi pertama (pendiri pondok). Setelah K.H. Imam Zarkasyi meninggal dunia pada bulan April 1985, estafet kepeimimpinan pondok Gontor beralih ke generasi kedua, yaitu K.H Shoiman Lukmanul Hakim, K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A., dan K.H. Hasan Abdullah Sahal, hingga akhirnya pada tahun 1999, K.H. Shoiman Lukmanul Hakim meninggal dunia dan digantikan oleh K.H. Imam Badri, dan ketiga kyai inilah yang memimpin pondok Gontor hingga saat ini.
Penamaan pondok Gontor sendiri berasal dari nama sebuah desa yang pada saat itu merupakan kawasan tak bertuan, dan masih dipenuhi oleh lebatnya pepohonan serta masih banyak juga binatang yang berkeliaran disana. Diceritakan pula bahwa kawasan tersebut dikenal sebagai tempat persembunyian para penyamun, para worok (jagoan), pembegal, dan orang-orang yang berperangai kotor, karena itu kawasan tersebut dijuluki sebagai “tempat kotor” yang dalam bahasa Jawa disebut dengan enggon kotor yang disingkat menjadi Gontor, yang kemudian nama tersebut digunakan sebagai nama pondok tersebut yang berdiri hingga saat ini.
Pondok Gontor merupakan kelanjutan dari pondok Tegalsari yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur, yang didirikan oleh Kyai Ageng Muhammad Besari (bashori) pada abad ke-18 M, setelah beliau wafat maka kepemimpinan pondok dipegang oleh putra tertuanya yaitu Kyai Ilyas, selanjutnya pada tahun 1800-1862, kepemimpinan beralih ke tangan Kyai Kasan Anom Besari yang memang beliau adalah orang tua dari ketiga Kyai pendiri pondok Gontor yaitu yaitu K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannani, dan K.H. Imam Zarkasyi.
Setelah pondok Tegalsari runtuh karena berbagai hal yang mendasarinya, yang pertama faktor internal karena kurangnya antisipasi terhadap persiapan kader-kader yang akan melanjutkan perjuangan pondok pada masa yang akan datang, dan yang kedua faktor eksternal yaitu suasana penjajahan yang memberikan dampak negatif bagi kelestarian pondok Tegalsari beserta pondok-pondok lain yang ada pada masa itu, sehingga bersamaan dengan runtuhnya pondok-pondok akibat kedua factor tersebut menyebabkan pula runtuhnya akhlak, mundurnya pendidikan, serta menurunnya standar hidup masyarakat jauh berada di bawah garis kemiskinan.
Keadaan inilah yang membangkitkan semangat ketiga orang bersaudara tersebut, yaitu K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannani, dan K.H. Imam Zarkasyi untuk meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan usaha para leluhur dan ulama dalam menyiarkan ajaran dan kebudayaan Islam, rasa cinta kepada agama, rasa berkewajiban menunaikan tugas suci menegakkan agama Allah, kesadaran akan hajat hidup umat Islam kepada para pemimpin dan ulama yang cakap dan jujur, serta kesadaran terhadap kebahagiaan dan kesejahtraan umat manusia.
Pondok Modern Darussalam Gontor didirikan tanpa modal material, kecuali sebuah masjid yang sudah sangat tua dan sebidang tanah, warisan (peninggalan) dari pengemudi (Kyai) Pondok yang lalu. Oleh pendiri Pondok Modern Gontor (yakni Trimurti: Ahmad Sahal, Zainuddin Fanani, dan Imam Zarkasyi), harta warisan dari orang tua beliau-beliau itu dan juga semua harta milik Pondok Modern Gontor kemudian, DIWAKAFKAN GUNA KEPENTINGAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN ISLAM dengan harapan mudah-mudahan menjadi amal jariyah bagi beliau-beliau dan orang tua beliau dan bagi semua yang turut berjasa kepada Pondok Modern Gontor.
Modal utama guna mendirikan Pondok Modern ini ialah: Do‘a ke hadirat Allah Yang Maha Pemurah. Dan, alhamdulillah, Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan kepada Pondok Modern Gontor. Dengan pertolongan Allah SWT, setelah Pondok Modern Gontor ini maju mulailah terbuka hati beberapa badan (organisasi) dan dermawan muslim untuk membantu usaha Pondok Modern Gontor, begitu juga Pemerintah Republik Indonesia telah mulai menaruh perhatian kepada usaha Pondok Modern Gontor. Hal itu merupakan kesyukuran bagi Pondok Modern Gontor, sebab dengan bantuan itu berarti akan mempercepat dan menambah hasil usaha Pondok Modern Gontor.
B. Kemajuan Pondok Modern Darussalam Gontor dari Tahun ke Tahun
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya Pondok Modern telah mencatat kemajuan-kemajuan yang menyakinkan masa depannya. Mula-mula pada tahun 1926 didirikan Sekolah Dasar atau ibtidaiyah dengan nama TARBIYATUL ATHFAL (TA). Tingkat dasar ini berjalan dengan baik dan berkembang meluas ke daerah-daerah sekitar, sebagai cabang dari Tarbiyatul Atfhal Darussalam Gontor.
Sepuluh tahun kemudian didirikan SEKOLAH MENENGAH PERTAMA atau TSANAWIYAH ULA, yang kemudian disempurnakan dengan mengadakan SEKOLAH MENENGAH TINGKAT ATAS atau ‘ALIYAH berbentuk Sekolah Guru Atas dengan nama “KULLIYATU-L- MU‘ALIMIN AL-ISLAMIYAH” (KMI). Di dalamnya, diajarkan pelajaran agama, umum, dan bahasa asing.
Setelah mendirikan KMI, untuk sementara TA terpaksa dilepaskan dan masing-masing berdiri sendiri di luar Pondok Modern Darussalam Gontor. Hal ini terpaksa dilakukan untuk memusatkan perhatian ke arah langkah yang meningkat.
Pada tahun 1940 didirikan tingkat yang lebih tinggi dari KMI yaitu Sekolah Guru Tinggi (BI) Agama dan Bahasa Arab dengan maksud untuk mencukupi hajat masyarakat akan kekurangan guru di Sekolah-sekolah Menengah pada umumnya. Tetapi tingkat ini hanya berlangsung sampai tahun 1945, disebabkan oleh pergolakan di tanah air. Pada tahun itu, pemuda-pemuda Pondok Modern, terutama dari tingkat atas, banyak yang meninggalkan pondoknya dan aktif dalam revolusi fisik mengusir penjajah.
Baru, pada akhir tahun 1963, tingkat tinggi itu dibuka kembali, dengan mendirikan PERGURUAN TINGGI “DARUSSALAM”. Untuk pertama kali, dibuka dua fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah dan fakultas Ushuluddin.
C. Pendirian Pondok-pondok Cabang Gontor
Mengingat tingginya animo masyarakat untuk memasukkan anaknya di Gontor dan keterbatasan fasilitas yang tersedia di Kampus Pondok Modern Darussalam Gontor serta untuk memberikan bekal yang lebih baik kepada para calon santri yang ingin masuk di Pondok Modern Darussalam Gontor, dibukalah cabang-cabang Gontor di beberapa tempat:
1. Pondok Modern Gontor 2, di Madusari, Siman, Ponorogo, tahun 1996;
2. Pondok Modern Gontor 3 "Darul Ma'rifat" di Sumbercangkring, Gurah, Kediri, tahun 1993;
3. Pondok Modern Gontor 4, yaitu Pesantren Putri Gontor di Sambirejo, Mantingan, Ngawi, tahun 1990;
4. Pondok Modern Gontor 5 "Darul Muttaqin" di Kaligung, Rogojampi, Banyuwangi, tahun 1990;
5. Pondok Modern Gontor 6 "Darul Qiyam" di Gadingsari, Mangunsari, Sawangan, Magelang, tahun 1999; dan
6. Pondok Modern Gontor 7 “Riyadlatul Mujahidin”, di Podahua, Landono, Sulawesi Tenggara, tahun 2002;
7. Pondok Modern Gontor 8 (labuhan Ratu ) dan Pondok Modern Darussalam Gontor 9 (way Jepara ) di Lampung; serta
8. Pondok Modern Gontor 10 "Darul Amin"di Aceh Di samping itu juga dibuka
9. Pondok Modern Gontor Putri 1 pada tahun 1997 dan
10. Pondok Modern Gontor Putri 2 pada tahun 2002, menyusul berikutnya
11. Pondok Modern Gontor Putri 3 di Kendari dan
12. Pondok Modern Gontor Putri 4 di Kandangan, Kediri.

D. Aspek-Aspek Pembaharuan Pendidikan Modern Darussalam Gontor
Pada tanggal 18-23 September 1926, umat Islam Indonesia mengadakan kongres di Surabaya untuk mengirim utusan untuk menghadiri Muktamar Islam se-Dunia yang akan diselenggarakan di Mekkah, perlu diketahui bahwa utusan yang akan dikirim itu sekurang-kurangnya mahir berbahasa Arab dan bahasa Inggris, dan yang jadi permasalahan pada waktu itu adalah tidak ada seorang peserta kongrespun yang menguasai kedua bahasa tersebut dengan baik, akhirnya dipilihlah dua orang utusan, yang pandai berbahasa Inggris yaitu H.O.S. Cokroaminoto, dan yang satu lagi adalah Kyai Mas Mansyur yang mahir berbahasa Arab.
Problem pemilihan utusan ini meninggalknan kesan yang sangat kuat dalam diri K.H. Ahmad Sahal yang memang hadir dalam kongres tersebut. sepulang dari kongres tersebut beliau membahas masalah ini bersama kedua adiknya, yaitu, K.H. Zainuddin Fannani, dan K.H. Imam Zarkasyi, dalam benak mereka timbul satu pertanyaan bagaimana mungkin dari sekian banyak tokoh-tokoh utama umat Islam yang hadir pada saat itu tidak ada seorangpun yang menguasai dua bahasa sekaligus (bahasa Arab dan bahasa Inggris) dengan baik? Persoalan ini bukan permasalahan yang sederhana menurut mereka, karena penguasaan bahasa Arab merupakan pencerminan suatu dimensi keulamaan, Karena sumber utama hukum Islam adalah Al-qur’an dan Hadits yang memang berbahasa Arab, sedangkan penguasaan bahasa Inggris merupakan cerminan dimensi intelektualotas berupa penguasaan ilmu-ilmu umum yang sebagian besar ditulis alam bahasa Inggris.
Akhirnya mereka bertiga sepakat memperbaiki kondisi umat yang semacam ini untik mewujudkan cita-citanya yaitu mendirikan lembaga pendidikan yang menggabungkan ilmu-ilmu agama dengan pendidikan umum, dalam rangka ini mereka memilih system pendidikan pesantren yang digabung dengan system madrasah/sekolah. Ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa sebenarnya kedua kedua lembaga tersebut memiliki keunggulan masing-masing, keunggulan pesantren terletak pada system asramanya serta pendidikan mental yang kuat, sedangkan system madrasah/sekolah memiliki keunggulan dalam keluasan wawasan intelektualnya.
Penggabungan ini diharapkan dapat menjadi perantara agar tidak adanya kesenjangan antara kedua system tersebut, sehingga keduanya dapat berperan saling melengkapi satu sama lain, sehingga para pendiri pondok Gontor memiliki tujuan “mencetak ulama yang intelek”.
1. Aspek Kelembagaan
Jika pesantren pada umunya adalah hanya milik Kyai dan keluarganya (kyai dan keluarga merupakan pemilik tunggalnya),dengan kata lain jika Kyai meninggal maka akan diwariskan kepada ahli warisnya, akan tetapi Gontor memiliki kelembagaan yang berbeda dengan pondok-pondok lain, yaitu dengan cara mewakafkan pondok pesantren kepada umat, pada tanggal 12 oktober 1958 yang diwakili oleh Badan Wakaf, sedangkan pengelolaanya diamanatkan kepada 15 orang alumni yang dipilih secara selektif oleh para pendiri pondok, yaitu mereka yang benar-benar mengerti dan mengenal dengan baik nilai-nilai dasar dan garis besar haluan pondok.
Badan Wakaf merupakan lembaga tertinggi dalam Organisasi Balai Pendidikan Pondok Modern. Lembaga ini bertugas sebagai pembantu selama Trimurti masih hidup dan dapat melaksanakan tugasnya. Tapi setelah wafat K.H.Imam Zarkasyi lembaga ini memainkan peranan yang sangat penting untuk mengadakan siding istimewa dalam memilih dan menetapkan pimpinan Pondok Modern yang baru. Terpilih secara sepakat sebagai pimpinan Pondok ketika itu :
a. K.H.Shoiman Luqmanul Hakim
b. K.H.Abdullah Syukri Zarkasyi,M.A
c. K.H.Hasan Abdullah Sahal
Sepeninggalan Trimurti kepemimpinan Pondok selalu diamanatkan kepada tiga orang yang dipilih setiap 5 tahun sekali. Pada awal tahun 1999, K.H. Shoiman Luqmanul Hakim meninggal dunia. Untuk menggantikan beliau, Badan Wakaf dalam sidang ke-41 menunjuk K.H.Imam Badri. Dengan demikian kompoisi Pimpinan Pondok berubah menjadi :
a. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi,M.A
b. K.H. Hasan Abdullah Sahal
c. K.H.Imam Badri.
2. Aspek Manajemen
Banyak pihak yang beranggapan bahwa salah satu kelemahan pendidikan pesantren adalah pada bidang manajemen, karena manajemen pesantren pada umumnya bersifat tertutup, terpusat dan kekeluargaan. Namun pondok Gontor berusaha mengatasi kelemahan tersebut dengan menerapkan manajemen yang berbeda dari manajemen yang berlaku di pesantren-pesantren pada umumnya, manajemen di Gontor dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, penuh perhitungan serta kebersamaan.
3. Aspek kurikulum
Gontor memiliki prinsip “Al-muhafadzhah ‘ala al-qadim as-salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”. Artinya: “Mempertahankan tradisi lama yang baik dan menerima kebaikan tradisi yang baru. Prinsip tersebut menjadi pegangaan dalam melakukan perubahan yang menyangkut materi, perubahan bias berlaku cepat jika menyangkut materi yang bersifat umum, akan tetapi terhadap materi yang bersifat agama perubahan dilakukan dengan ssangat hati-hati.
Pada prinsipnya ilmu agama dan ilmu umum berjalan terpisah sendiri-sendiri, akan tetapi tidak berarti keduanya harus berpisah dan tidak memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Oleh karena itu Pembaharuan kurikulum di Gontor tidak hanya melakukan pengajaran ilmu agama dan ilmu umum secara terpisah saja, melainkan juga menggabungkan serta mengaitkan kedua ilmu tersebut sehingga pada pembelajaran imu umum tidak terlepas dari dasar dan nilai agama, dan sebaliknya pengajaran ilmu agama dikembangkan sejalan dengan perkembangan ilmu umum.
Selain itu pembaharuan juga dilakukan dengan menggabungkan kurikulum yang intra dan ekstra, artinya tidak ada yang saling tumpang tindih, keduanya berjalan secara beriringan dengan memilki perhatian yang sama antara keduanya.
4. Aspek Metodologi
“Ath-thoriqotu ahammu min al-maddah, al-mudarris ahammu min ath-thoriqoh, wa ruh al—mudarris ahammu mina al-mudarris”.
Artinya: “ Metode itu lebih penting dari pada materi, guru lebih penting dari metode, dan jiwa guru lebih penting dari pada guru itu sendiri”.
Ungkapan di atas mengandung makna bahwa sebuah kurikulum, betapapun hebatnya ia di rancang, tidak menjamin berhasilnya suatu proses pendidikan dan pengajaran. Kurikulum yang baik itu memang penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah metode bagaimana ia ditransmisikan dan transformasikan. Dalam hal apapun, metode itu berperan penting dalam keberhasilan penyelenggaraan suatu proses.
Tetapi metode yang baik juga bukan jaminan bahwa suatu proses itu akan dapat membawa hasil yang optimal, sebab metode itu yang menggunakan adalah manusia. Karena itu wujud manusia itu lebih menentukan daripada metode. Tetapi persoalannya bukan semata pada manusia ataupun kualifikasi yang terkait dengan kecakapan intelaktual dan metodologisnya, justru persoalan yang paling penting terletak pada jiwa/ruh manusia itu sendiri.
Meskipun sama-sama menguasai materi dan metodologi yang canggih, tetapi akan berbeda hasil pendidikan antara seorang yang mendidik dengan jiwa perjuangan dan semangat pengorbanan dengan seorang yang sekedar mendidik untuk menjalan kan tugas dan sekedar mencari penghidupan. Karena itu jika ingin memperoleh hasil yang maksimal, seorang harus mendidik secara total, artinya melibatkan otak, lidah, fisik, dan hatinya, mengingat bahwa tugas seorang pendidik bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan, akan tetapi lebih dari itu adalah membentuk kepribadian dan sikap mental siswa.


E. Biografi Trimurti Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor
1. K.H. Ahmad Sahal (1901 – 1977)
Putra kelima Kyai Santoso Anom Besari ini lahir di desa Gontor Ponorogo pada tanggal 22 Mei 1901, Setelah menamati sekolah rendah (Verxolk School) atau sekolah Ongko Loro, beliau mondok diberbagai pondok pesantren, diantaranya adalah pondok pesantren Kauman Ponorogo, pondok Joresan Ponorogo, pondok Josari Ponorogo, pondok Duri sawo Ponorogo, Siwalan Panji Sidoarjo, dan pondok emas Pacitan, setelah itu beliau masuk ke sekolah Belanda Algemeene Nederlandsch Verbon (sekolah pegawai di zaman penjajahan Belanda), tahun 1919-1921. Beliau wafat pada tanggal 9 April 1977 tepat pukul 19.00 WIB. Meninggalkan seorang istri (ibu Sutichah Sahal) dan Sembilan orang putra dan putri mereka.
2. K.H. Zainuddin Fannani (1908 – 1967)
Putra keenam Kyai Santoso Anom Besari ini lahir di desa Gontor Ponorogo pada tanggal 23 Desember 1908, pendidikan masuk sekolah dasar di Ongko Loro Jetis Ponorogo, beliau juga belajar di pondok pesantren Josari Ponorogo, kemudian ke Termas Pacitan, lalu ke Siwalan Panji Sidoarjo. Dari sekolah Ongko Loro beliau berpindah ke sekolah dasar Hollandshe Inlander School (HIS), kemudian melanjutkan ke Kweekschool (sekolah guru) di Padang, setelah lulus beliau masuk ke Leider School (sekola pemimpin) di Palembang, selain itu beliau juga pernah belajar pada pendidikan Jurnalistik dan Tabligh School (Madrasah Muballighin III) di Yogyakarta, dan tamat pada tahun 1930. beliau wafat pada tanggal 21 Juli 1967 di Jakarta.
Semasa hidupnya banyak karya tulis yang dibuatnya yang sampai saat ini digunakan sebagai bahan rujukan terutama bagi generasi penerus pondok modern Darussalam Gontor, diantaranya adalah:
 Senjata penganjur dan pemimpin Islam
 Pedoman dan pendidikan modern
 Kursus agama Islam
 Penangkis krisis
 Riedenar dan jurnalistik.



3. K.H. Imam Zarkasyi (1910 – 1985)
Putra ketujuh Kyai Santoso Anom Besari ini lahir di desa Gontor pada tanggal 21 Maret 1910, pendidikan sekolah dasar di Ongko Loro Jetis Ponorogo, beliau juga belajar di pondok pesantren Josari Ponorogo, pernah pula belajar di Pondok Joresan Ponorogo. Selesai dari sekolah Ongko Loro beliau melllanjutkan ke Pondok pesannnnnnnntren Jamsaren Solo. Pada waktu yang sama beliau belajar pula di sekolah Mamba’ul ‘Ulum dan kemmudian masih di kota yang sama pula meneruskan ke sekolah Arabiiiyah Adabiyah sampai tahun 1930. kemudian melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool di Padang Panjang sampai tahun 11935. beliau wafat pada tanggal 30 April 11985 di Madiun.
Semasa hidupnya banyak karya tulis yang dibuatnya yang sampai saat ini digunakan sebagai bahan rujukan terutama bagi generasi penerus pondok modern Darussalam Gontor, diantaranya adalah:
 Ushuluddin (pelajaran ‘Aqaid/keimanan)
 Pelajaran Fiqih I dan II
 Pelajaran Tajwid
 Bimbingan keimanan
 Qowa’idul Imla’
 Pelajaran huruf Al-qur’an I dan II
 Pelajaran bahasa Arab I dan II
 At-tamrinat jilid I,II,III beserta kamusnya
 I’rabu amtsilati al-jumal jilid I dan II.
Selain itu, beliau juga menulis beberapa buku petunjuk bagi santri dan guru di Pondok Modern, termasuk metode mengajar beberapa mata pelajaran. Buku-buku karangan beliau hingga kini dipakai di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor dan Pondok-pondok Pesantren Alumni dan beberapa sekolah agama.




BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan dalam makalah ini menambahkan berbagai aktifitas Pondok Modern sebagai berikut:
Aktivitas Pelajar
Kehidupan di dalam Pondok Modern merupakan kesatuan masyarakat tersendiri, dengan segala macam ragam kebutuhannya. Segala aktivitas diatur oleh organisasi pelajar, dengan bimbingan dan pengawasan para pengasuh serta para guru.
SELF-GOVERNMENT
Maka untuk memudahkan jalannya organisasi dan meringankan tanggung jawab, diadakan bagian-bagian yang diserahi tugas-tugas khusus mengurus bidang aktivitas misalnya:
• Bagian olah raga:.
• Bagian kesenian:
• Bagian Kesehatan:.
• Bagian Pengajaran:.
• Bagian Keamanan:
• Bagian Penerangan:.
• Bagian Penerimaan Tamu:
• Dan beberapa bagian lainnya.
Meskipun bentuk berubah-ubah sesuai dengan perkembangan gerakan pelajar, namun pokoknya tetap adanya organisasi pelajar di Pondok Modern dengan didirikan secara self government. Ini telah berjalan baik sejak tahun 1939.
Segala sesuatu tentang kehidupan pelajar di Pondok Modern diatur demikian untuk maksud pendidikan dan pengajaran.



GERAKAN KEPANDUAN
Gerakan (Pramuka) kepanduan di Pondok Modern sangat dipentingkan dan maju. Bahkan kepanduan di sini mengandung maksud mendidik kader, sehingga apabila pelajar itu terjun kemasyarakat sanggup memimpin kepanduan di daerahnya. Hal itu sangat perlu, sebab kita tahu bahwa kepanduan mengandung unsur-unsur pendidikan yang penting.
ADA KOPERASI PELAJAR
Untuk mencukupi keperluan pelajar sehari-hari maka diadakan Koperasi Pelajar. Koperasi Pelajar ini diurus oleh pelajar-pelajar sendiri, secara berganti-ganti bersamaan dengan pergantian pengurus organisasi pelajar itu tiap-tiap tahun. Koperasi pelajar Pondok Modern ini mempunyai sebuah toko, yang melayani segala keperluan pelajar, misalnya buku-buku pelajaran, alat tulis menulis, alat-alat olah raga, dan barang-barang keperluan lainnya.
Modal koperasi pelajar ini diperlukan dari iuran semua pelajar. Dan, keuntungannya digunakan untuk membiayai keperluan-keperluan mereka bersama, misalnya untuk memelihara peralatan olahraga, untuk membeli obat-obatan, untuk membiayai utusan-utusan yang dikirim ke kongres-kongres, seminar-seminar atau pertemuan lain yang diadakan oleh organisasi-organisasi di luar.







DAFTAR PUSTAKA
http://www.gontor.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=53&Itemid=60
http://www.gontor.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=129&Itemid=95
http://www.gontor.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=133&Itemid=98
K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi,M.A Gontor dan pembaharuan pendidikan pesantren, Jakarta: P.T. Raja Grafindo, 2005
Nur Hadi Ihsan, Profil Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo: Pondok Modern Darussalam Gontor, edisi kedua 2006

Selasa, 20 Oktober 2009

PENDIDIKAN PADA MASA AWAL MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

PENDIDIKAN PADA MASA AWAL MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

Pada tahap awal pendidikan islam itu berlangsung secara informal. Para Muballigh banyak membeerikan contoh teladan dalam sikap hidup mereka sehari-hari. Para Muballigh itu menunjukan akhlaqul karimah,sehingga masyarakat yang didatangi menjadi tertarik untuk memeluk agama islam dan mencontoh perilaku mereka.
Didalam sejarah islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW,telah difungsikan rumah ibadah tersebut sebagai tempat pendidikan .Rasul SAW menjadikan Masjid Nabawi untuk berlangsungnya proses pendidikan di dalamnya.perbuatan Beliau ini ditiru oleh khalifah-khalifah sesudah beliau,baik hanya Khulafaur Rasyidin maupun khalifah-khalifah Bani Umayah.Abasyiyah,Fatimiyah,Usmaniyah dan lain sebagainya.Dengan demikian Masjid berfungsi sebagai tempat pendidikan adalah merupakan suatu keharusan dikalangan masyarakat muslim.
Tentu saja setelah terbentuknya masyarakat muslim pada daerah tertentu di Indonesia,dapat dipastikan bahwa mereka membangun masjid,dan dengan adanya masjid tersebut dapat pula dipastikan bahwa mereka menggunakannya untuk melaksanakan proses pendidikan islam didalamnya,dan sejak saat itu pula lah mulai berlangsungnya pendidikan non formal.
Selain dari proses diatas yakni dimulai dari terbentuknya pribadi-pribadi muslim kemudian dari kumpulan pribadi-pribadi trsebut membentuk masyarakat muslim dan dari situ munculnya kerajaan islam, tetapi juga bisa terjadi para Muballigh terlebih dahulu mengislamkan penguasa setempat, dan dengan demikian masyarkat atau rakyatnya memeluk Agama Islam seperti yang terjadi pada beberapa kerjaaan,yaitu Kerajaan Malaka,dan beberapa kerajaan lainnya. Dengan demikian,terbentuk pula lah secara otomatis masyarakat muslim[1].
Ada beberapa lembaga pendidikan Islam awal yang muncul di Indonesia yaitu:
1. Masjid dan Langgar
Masjid fungsi utamanya adalah untuk tempat shalat yang lima waktu ditambah dengan sekali seminggu dilaksanakan shalat jum’at dan dua kali setahun dilaksanakan shalat Hari Raya Idul fitri dan Idul Adha. Selain dari masjid ada juga tempat ibadah yang disebut langgar, bentuknya lebih kecil dari masjid dan digunakan hanya untuk tempat shalat lima waktu, bukan untuk tempat shalat jum’at.
Selain dari fungsi utama masjid dan langgar difungsikan juga untuk tempat pendidikan. Ditempat ini dilakukan pendidikan buat orang dewasa maupun anak-anak. Pengajian yang dilakukan untuk orang dewasa adalah pengajian penyampaian-penyampaian ajaran islam oleh Muballigh ( Ustadz,Guru,Kyai )
Kepada para jamaaah dalam bidang yang berkenaan dengan aqidah,ibadah dan akhlak.
Sedangkan pengajian untuk anak-anak berpusat kepada pengajian Al-Qur’an menitik beratkan kepada kemampuan membacanya dengan baik sesuai dengan kaedah-kaedah bacaan dan juga diberi pendidikan keimanan ibadah dan akhlak[2].
Al-Abdi dalam bukunya “Almadlehal” menyatakan bahwa masjid merupakan tempat terbaik untuk melakukan kegiatan pendidikan. Dengan menjadikan lembaga pendidikan dalam masjid akan terlihat hidupnya sunah-sunah islam, menghilangkan bid’ah-bid’ah, mengembangkan hokum-hukum tuhan, serta menghilangnya stratifikasi rasa dan status ekonomi dalam pendidikan. Maka dengan demikian masjid sudah merupakan lembaga kedua setelah keluarga, yang jenjang pendidikannya terdiri dari sekolah menengah dan sekolah tinggi dalam waktu yang sama.
Memang masjid atau langgar merupakan institusi pendidikan yang pertama dibentuk dalam lingkungan masyarakat muslim. Pada dasarnya masjid atau langgar mempunyai fungsi yang tidak terlepas dari kehidupan keluarga. Sebagai lembaga pendidikan,berfungsi sebagai penyempurna pendidikan dalam keluarga,agar selanjutnya anak mampu melaksanakan tugas-tugas hidup dalam masyarakat dan lingkungannya. Pada mulanya pendidikan di langgar atau masjid, dalam arti sederhana dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan formal, dan sekaligus lembaga pendidikan sosial[3].
2. Pesantren
Ditinjau dari segi sejarah, belum ditemukan data sejarah, kapan pertama sekali berdirinya pesantren, ada pendapat mengatakan bahwa pesantren telah tumbuh sejak awal masuknya islam ke Indonesia, sementara yang lain berpendapat bahwa pesantren baru muncul pada masa Wali Sanga dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang yang pertama mendirikan pesantren[4].
Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar santri. Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bamboo. Disamping itu kata pondok mungkin juga berasal dari bahasa arab yaitu funduq yang berarti hotel atau asrama.
Pembangunan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga pendidikan lanjutan. Namun demikian faktor guru yang memenuhi persyaratan keilmuan yang diperlukan akan sangat menentukan bagi tumbuhnya suatu pesantren. Pada umumnya berdirinya suatu pesantren diawali dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kyai. Karena keinginan menuntut dan memproleh ilmu dari guru tersebut, maka masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah dating kepadanya untuk belajar.
Kelangsungan hidup suatu pesantren amat tergantung kepada daya tarik tokoh sentral ( guru/kyai ) yang memimpin,meneruskan atau mewarisinya. Jika pewaris menguasai sepenuhnya baik pengetahuan keagamaan, wibawa, keterampilan mengajar dan kekayaan lainnya yang diperlukan, maka umur pesantren tersebut akan lama bertahan. Sebaliknya pesantren akan menjadi mundur dan hilang, jika pewaris atau keturunan kyai yang mewarisinya tidak memenuhi persyaratan. Jadi seorang figur pesantren memang sangat menentukan dan benar-benar diperlukan[5].
Apabila ditelusuri sejarah pendidikan di jawa, sebelum datangnya agama islam telah ada lembaga pendidikan jawa kuno yang praktik kependidikannya sama dengan dengan pesantren. Lembaga pendidikan jawa kuno itu bernama “Pawiyatan”, dilembaga tersebut tinggal Ki Ajar dengan Cantrik. Ki Ajar adalah orang yang mengajar dan Cantrik adalah orang yang diajar. Kedua kelompok ini tinggal disatu komplek dan disinilah terjadi proses belajar mengajar.
Dengan menganalogikan pendidikan pawiyatan ini dengan pesantren, sebetulnya tidak terlalu sulit untuk menetapkan bahwa pesantren itu telah tumbuh sejak awal perkembangan islam di Indonesia khususnya di jawa. Sebab model pendidika pesantren itu telah ada sebelum islam masuk yaitu pawiyatan. Dengan masuknya islam, maka sekaligus diperlukan sarana pendidikan, tentu saja model pawiyatan ini dijadikan acuan dengan mengubah sistem yang ada ke sistem pendidikan islam.
Inti dari pesantren itu adalah pendidikan ilmu agama, dan sikap beragama. Karenanya mata pelajaran yang diajarkan semata-mata pelajaran agama. Pada tingkat dasar anak didik baru diperkenalkan tentang dasar agama dan Al-Qur’anul Kariim. Setelah berlangsung beberapa lama pada saat anak didik telah memiliki kecerdasan tertentu maka mulailah diajarkan kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik ini juga di klasifikasikan kepada tingkat dasar,menengah dan tinggi. Mahmud Yunus membagi pesantren menjadi empat tingkatan, yaitu :
a. Tingkat dasar.
b. Menengah
c. Tinggi.
d. Takhassus.
Setelah datang kaum penjajah barat (Belanda), peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan islam semakin kokoh. Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang reaksional terhadap penjajah. Karena itu, di zaman Belanda sangat kontras sekali pendidikan di pesantren dengan pendidikan sekolah-sekolah umum. Pesantren semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama. Sistim pendidikan pesantren baik metode, sarana fasilitas serta yang lainnya masih bersifat tradisional. Administrasi pendidikannya belum seperti sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah colonial Belanda, non klasikal, meodenya sorogan, wetonan hapalan. Menurut Zamaksyari Dhofier agama lewat kitab-kitab klasik, sedangkan sekolah umum Belanda sama sekali tidak mengajarkan pendidikan ada lima unsure pokok pesantren :
Kyai.
Santri.
Masjid.
Pondok.
Pengajaran kitab-kitab klasik.
Dalam perkembangan berikutnya pensantren mengalami dinamika, kemampuan dan kesediaan pesantren untuk mengadopsi nilai-nilai baru akibat modernisasi, menjadikan pesantren berkembang dari yang tradisional ke modern. Karena itu hinga saat sekarang pesantren tersebut di bagi menjadi dua secara garis besar: - Pesantren Salafi, adalah pesantren yang masih terkait dengan system dan pola yang lama, - Pesantren Khalafi, adalah pesantren yang telah menerima unsure-unsur pembaharuan[6].
3. Meunasah, rangkang dan dayah.
Secara etimologi meunasah berasal dari perkataan madrasah, tempat belajar atau sekolah. Bagi masyarkat Aceh meunasah tidak hanya semata-mata tempat belajar, bagi mereka meunasah memiliki multifungsi. Meunasah di samping tempat belajar, juga berfungsi tempa ibadah, tempat pertemuan, musyawarah, pusat informasi, tempat tidur, dann tempat menginap bagi musyafir, tempat perayaan kenduri masal dalam kampung, seperti maulid nabi SAW, nuzulul Qur’an, dan Isra’ mi’raj dan juga sebagai tempat pejabat-pejabat gampong memutuskan dan memecahkan masalah-masalah social kemasyarakatan.
Di tinjau dari segi pendidikan, meunasah adalah lembaga pendidikan awal bagi anak-anak yang dapat disamakan dengan tingkatan sekolah dasar. Di meunasah para murid di ajar menulis, membaca huruf Arab, ilmu agama, dan akhlaq.
Meunasah dipimpin oleh seorang tengku, yang di Aceh besar disebut tengku meunasah. Tengku meunasah bertugas untuk membina agama di suatu tempet-tempat tertentu. Adapun rangkang adalah tempat tinggal murid, yang dibangun di sekitar masjid. Menurut Qanun Meukuta Alam, dalam tiap-tiap kampung harus ada satu meunasah. Masjid berfungsi sebagai tempat berbagai kegiatan umat, termasuk didalamnya kegiatan pendidikan. Karena murid perlu mondok dan tinggal, maka perlu di bangun tempat tinggal mereka disekitar masjid, tempat tinggal murid disekitar ini inilah yang disebut dengan rangkang. Pendidikan di rangkang ini terpusat kepada pendidikan agama, disini telah diajarkan kitab-kitab yang berbahasa arab, tingkat pendidikan ini jika dibandingkan dengan sekolah saat sekarang adalah SLTP. System pendidikan di rangkang ini sama dengan pendidikan di pesantren. Di rangkang juga ada yang namanya tengku rangkang, yang bertugas untuk menjadi guru bantu yang membimbing sisiwa yang tinggal di rangkang.
Lembaga pendidikan berikutnya yang popular di Aceh adalah Dayah . dayah berasal dari bahasa arab Zawiyah. Kata Zawiyah pada mulanya merujuk kepda sudut dari satu bangunan,dan sering dikaitkan dengan masjid. Disudut masjid itu terdapat proses pendidikan antara si pendidik dengan si terdidik. Selanjutnya Zawiyah dikaitkan tarekat-tarekat sufi,dimana seorang syeikh atau mursyid melakukan kegitan pendidikan kaum sufi.
Dengan demikian, kata dayah yang berasal dari kata Zawiyah disamping memiliki hubungan kebahasaan yakni berubahnya kata Zawiyah menjadi dayah menurut dialek Aceh, juga mempunyai hubungan fungsional, yakni sama-sama merujuk kepada tempat pendidikan.
Hasjmy menjelaskan tentang dayah adalah sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkan mata pelajaran agama yang bersumber dari bahasa arab, misalnya fiqih,bahasa arab,tauhid tasawuf dan lan sebagainya.tingkat pendidikan ini setara dengan SLTA[7].
Pada Abad ke-18, surau dan dayah sudah mapan eksistensinya. Melalui lembaga-lembaga tersebut islam telah mengakar kuat di Nusantara. Akan tetapi, keberadaan lembaga-lembaga ini mulai terancam bahaya kolonialisme yang menawarkan westerenisasi, modernisasi, sekaligus kolonialisme sehingga ditantang kemampuannya untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Besarnya tantangan itu telah mampu menghapuskan beberapa lembaga pendidikan tradisional dari pentas sejarah[8].
4. Surau
Dalam kamus bahasa Indonesia,surau diartikan tempat umat Islam melakukan ibadah. Pengertian ini apabila dirinci mempunyai arti bahwa surau berarti suatu tempat bangunan kecil untuk tempat shalat,tempat belajar mengaji anak-anak,tempat wirid bagi orang dewasa.
Christine Dobbin memberikan pengertian bahwa surau adalah rumah yang didiami para pemuda setelah akil balligh,terpisah dari rumah keluarganya yang menjadi tempat tinggal wanita dan anak-anak.
Perkataan surau menyebar luas di Indonesia dan Malaysia, yang dalam kehidupan keseharian adalah suatu bangunan kecil yang penggunaaan utamanya untuk shalat berjamaah bagi masyarakat sekitar.
Di Sumatera barat pengertian surau tidak hanya berfungsi kepda beberapa fungsi yang disebutkan diatas,tetapi lebih luas dari itu lagi. Surau bagi masyarakat minangkabau tidak hanya mempunyai fungsi pendidikan dan ibadah, tetapi lainnya juga mempunyai fungsi budaya.
Surau berfungsi sebagai lembaga sosial buadaya,adalah fungsinya sebagai tempat pertemuan para pemuda dalam upaya mensosialisasikan diri mereka. Selain dari itu surau juga berfungsi sebagai tempat persinggahan dan peristirahatan para musafir yang sedang menempuh perjalanan. Dengan demikian surau mempunyai multifungsi[9].
Didalam referensi lain dijelaskan pula oleh Azyumardi Azra’ bahwa surau juga menjadi tempat persinggahan bagi musafir dan sebagainya yang sedang melalui suatu desa.
Dengan masuknya islam, surau juga mengalami proses islamisasi. Fungsinya sebagai tempat penginapan anak-anak bujang tidak berubah, tetapi fungsinya diperluas seperti fungsi masjid, yaitu sebagai tempat belajar membaca Al-Qur’an dan dasar-dasar agama dan tempat ibadah[10].








Selasa, 13 Oktober 2009

INSTITUSIONALISASI PENDIDIKAN

  1. INSTITUSIONALISASI PENDIDIKAN

A. Tujuan Pendidikan

Pada masa Nabi Saw. Masa Kholifah-kholifah Rasyidin dan Umaiyah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata-mata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharapkan keridhoannya, lainnya tidak. Pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Tujuan keagamaan dan akhlaq, seperti pada masa sebelumnya. Anak-anak didik dan diajar membaca/menghafal Al-qur’an , ialah karena hal itu satu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut ajaran agama dan berakhlaq menurut agama. Begitu juga mereka diajar ilmu tafsir, hadist dan sebagainya adalah karena tuntutan agama, lain tidak.
  2. Tujuan kemasyarakatan. Selain tujuan keagamaan dan akhlaq ada pula tujuan kemasyarakatan, yaitu pemuda-pemuda belajar dan menuntut ilmu, supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh kejahilan menjadi masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menjadi masyarakat yang maju dan makmur.

Ilmu-ilmu yang diajarkan dimadrasah-madrasah, bukan saja ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, bahkan juga diajarkan ilmu-ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.

  1. selain itu ada lagi tujuan pendidikan, ialah cinta akan ilmu pengetahuan serta senang dan lazat mencapai ilmu itu. Mereka belajar tak mengharapkan keuntungan apa-apa, selain dari pada berdalam-dalam dalam ilmu pengetahuan. Mereka melawat ke seluruh negara Islam. Untuk menuntut ilmu, tanpa memperdulikan susah-payah dalam perjalanan, umumnya dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka lain tidak untuk memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan
  2. di samping itu ada pula tujuan pendidikan sebagian kaum muslim, yaitu tujuan kebendaan. Mereka menuntut ilmu, supaya mendapat penghidupan yang layak, dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau mungkin mendapat kemegahan dan kekuasaan didunia ini, seperti setengah orang pada masa kita sekarang.

Ibnu Sina dengan tegas mengatakan, “supaya anak sesudah tamat sekolah rendah. Hendaklah dipimpin ke arah perusahaan yang sesuai dengan bakat dan kecerdasannya”. Hal itu membuktikan, bahwa tujuan pendidikan ialah supaya dapat berusaha mencari penghidupan. Bahkan ada orang mencari kekayaan dengan mempelajari ilmu kimiah, yaitu membuat emas dari benda yang bukan emas.

Seorang ulama, An-namiry Al-Quthuby (463 H. = 1071 M). menerangkan, “ macam-macam tujuan pendidikan itu dengan satu kalima, katanya : tuntutlah ilmu, karena ilmu itu menjadi penolong dalam agama (tujuan keagamaan)”. Menajamkan otak (tujuan ilmiah). Teman ketika sendirian (kemasyarakatan), berfaedah dalam majelis-majelis (kemasyarakatan) dan menarik harta-benda (tujuan kebendaan).

Demikianlah macam-macam tujuan pendidikan pada masa abbasiyah.

B. TINGKAT-TINGKAT PENGAJARAN

Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari atas beberapa tingkat :

  1. Tingkat sekolah rendah, namanya kuttab jamak katatib), untuk tempat belajar anak-anak. Di samping kuttab ada pula anak-anak belajar dirumah, di istana, ditoko-toko dan dipinggir-pinggir pasar.
  2. Tingkat sekolah menengah,yaitu di mesjid dan di majelis sastera dan ilmu pengetahuan, sebagai sambungan pelajaran di kuttab
  3. Tingkat perguruan tinggi, seperti baitul hikmah di Baghdad dan Darul ilmu di Mesir (Kairo), di mesjid-mesjid dan lain-lain.

C. LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM ERA AWAL

Sistem dan metode yang digunakan Rosul SAW. mengalami perkembangan pada saat ini sehingga menjadi kajian dari berbagai kalangan intelektual baik Islam maupun non muslim. Bentuk-bentuk dari berbagai lembaga Islam yang digunakan Rosul, Sahabat,tabi-tabi’in sampai pada masa mutaakhirin seperti rumah, kuttab, masjid, saloon dan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang dikenal pada priode awal. [1]

1. RUMAH

Lembaga pendidikan islam ini muncul dari pemikiran-pemikiran yang selaras dengan kebutuhan masyarakat, disadari digerakan dan di kembangkan oleh Al-qur’an dan sunah. Karena itu, lembaga pendidikan Islam bukanlah suatu yang datang dari luar, tetapi tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan ajaran agama Islam telah mengenal lembaga pendidikan saja detik-detik awal turunnya wahyu kepada nabi Muhammad SAW. Rumah Al- Arqam Ibn Abi al-Arqam merupakan lembaga pendidikan yang pertama.[2]

Wahyu diturunka Allah kepada nabi Muhammad SAW. nabi mengambil rumah Al bin Abi Arqam sebagaai tempatnya, disamping menyampaikan ceramah pada berbagai tempat. Atas dasar inilah arqam dapat di katakan rumah Arqam sebagai lembaga pendidikan yang pertama dalam Islam. Hal ini berlangsung sekitar 13 tahun. Namun sistem lembaga pendidikan masih bersifat halaqoh dan belum memilki kurikulum dan silabus seperti seperti sekarang. Sedangkan sistem dan materi-materi pendidikan yang akan langsung di sampaikan oleh nabi Muhammad SAW.[3]

Dengan di jadikannya oleh Rasullullah Muhammad SAW. rumah Al-Arqam ibn Al-Arqam sebagai tempat berkumpul para sahabat dalam penyampaian wahyu yang di terima dari Allah melalu malaikat jibril as., ini membuktikan bahwa rumah adalah lembaga pendidikan pertama dalam Islam. Di sisi lain rumah memang merupakan lembaga awal dalam pembinaan yang di lakukan oleh kedua orang tua, tuk menggembleng putra dan putrinya menjadi seorang yang beradab, berakhlak mulia.

2. SEKOLAH-SEKOLAH RENDAH (KUTTAB)

Adanya lembaga pendidikan rendah yaitu kuttab. Kebanyakan para ahli sejarah pendidikan islam sepakat bahwa pendidikan islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian meningkat pada pengajaran Al-Qur’an dan pengetahuan agama dasar[4]. Di masa nabi, karena perkembangan umat Islam yang semakin banyak belajar agama, termasuk anak-anak yang di kawatirkan mengotori masjid, maka muncullah lembaga pendidikan di samping masjid dengan sebutan al- Kuttab. Lembaga ini sebagai media utama untuk mengajarkan membaca dan menulis Al- Qur’an kepada Anak-anak sampai pada era Khulafaur rasyidin.[5]

Pada masa awal islam sampai era khulafaur rasyidin, secara umum dilakukan tanpa ada bayaran, karena kondisi waktu itu masih belum stabil. Namun pada masa bani Umayyah ada penguasa yang menggaji guru untuk mengajar putra dan putrinya dan menyediakan tempat bagi pelaksanaan proses mengajar di istana.

Kuttab ada 2 bentuk:

a. Kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan pada baca tulis.

b. Kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang mengajarkan Al- Qur’an dan dasar- dasar keagamaan.

Pada permulaan masa Abbasiyah (atau Abad yang kedua Hijriah) dan abad-abad kemudiannya, bertambah banyak bilangan kuttab dan guru-guru yanh mengajar anak-anak. Pada tiap-tiap desa ada satu kuttab, bahkan ada yang lebih dari satu kuttab, di satu kota Balram di Shigillah (sicillia)ada kurang lebih 300 oang guru kuttab. Pada kuttab Abul. Qasim Al-Balkhl ada kurang lebih 3.000 orang murid-murid. Hal itu membuktikan, bahwa kuttab, guru-gurunya dan murid-muridnya amat banyak.

Kuttab biasanya diadakan di luar masjid, tetapi kadang-kadang diadakan pula dalam mesjid, karena kekurangan tempat diluar masjid.

Berkata Iman Malik : kuttab itu tidak baik dalam mesjid, karena anak-anak, kadang-kadang membawa kotoran (najis) masuk mesjid.

Berkata Imam Syafi’I :

“Saya seorang anak yatim dalam pemeliharaan ibuku, lalu ibuku memasukkan daku dalam kuttab. Setelah saya menamatkan Al-Qur’an, lalu Saya Masuk mesjid”.

Hal ini membuktikan, bahwa kuttab itu diadakan di luar mesjid. Begitu juga kuttab Abul-Qasimtadi adalah di luar mesjid. Meskipun begitu ada juga guru-guru yang mengajar anak-anak di penjuru-penjuru mesjid atau di bilik-bilik yang berhubungan dengan mesjid.

a) Rencana pengajaran kuttab (tingkat rendah)

Rencana pengajaran Kuttab umumnya sebagai berikut :

  1. Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya.
  2. pokok-pokok agama Islam, seperti cara brwudhu, sembahyang, puasa, dan sebagainya
  3. menulis\
  4. kisah (riwayat)orang-orang besar Islam.
  5. membaca dan menghafal syair-syair atau Natsar-Natsar (proza)
  6. berhitung
  7. pokok-pokok Nahu dan Syaraf ala kadarnya.

Demikianlah rencana pengajaran kuttab umumnya. Tetapi rencana pengajaran kuttab umumnya. Tetapi rencana pengajaran itu tidak sama di seluruh negara Islam. Bahkan berlain-lain pada beberapa wilayah. Di Magrib (Maroko) hanya di ajarkan kepada anak-anak Al-Qur’an saja, serta dipentingkan tulisannya. Dan tiada dicampurkan dengan lain-lain, seperti hadist, fiqh, syair atau natsar. Di Andalusia diajarkan Al-Qur’an dan menulis,serta dicampurkan dengan syair, natsar, pokok-pokok Nahu dan Syaraf dan tulisan indah. Di Afriqiah (tunisia), dicampurkan pelajaran Al-Qur’an dengan hadist dan pokok-pokok ilmu Agama, tetapi menghafal al-Qur’an amat dipentingakan. Di timur (irak dan kelilingnya) dipentingkan pelajaran Al-Qur’an dan bermacam-macam Ilmu, serta qaidah-qaidahnya. Tetapi tidak dipentingkan tulisannya indah pada kuttab, hanya cukup tulisan bersahaja.

Menurut keterangan Al-Qur’an, Bahwa mata pelajaran pada kuttab-kuttab terdiri dari dua macam :

  1. Mata pelajaran wajib
  2. Mata pelajaran tidak wajib (ikhtiarih)

* Mata pelajaran wajib adalah :

  1. Al-Qur’an
  2. sembahyang
  3. Do’a
  4. Sedikit Ilmu Nahu dan Bahasa Arab
  5. Membaca dan Menulis.

* Mata pelajaran ikhtiarih adalah

  1. Berhitung
  2. Semua ilmu Nahu dan bahasa Arab
  3. Sya’ir
  4. Riwayat/tarikh Arab.

Demikianlah rencana pelajaran kuttab-kuttab di tunisia di abad keempat hijriah. Begitu pula di abad ketiga Hijriah menurut keterangan Ibnu Sahnun. Pendeknya rencana pelajaran seperti tersebut itu umum dilakukan di kuttab-kuttab seluruh negara.

3. MASJID

Kata masjid berasal dari kata bahasa Arab, sajada (fiil madi) masaajid/ sajdan (masdar), artinya tempat sujud. Dalam pengertian lebih luas berarti tempat sholat dan bermunajad kepada Allah SWT. Sang pencipta kholid dan tempat merenung dan menata masa depan (dzikir). Dari perenungan terhadap penciptaan Allah SWT. Masjid berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan.[6]

Proses yang mengantar masjid sebagai pusat dan pengetahuan adalah karena di masjid tempat awal pertama mempelajari ilmu agama yang baru lahir dan mengenal dasar-dasar, hukum-hukum, dan tujuan-tujuannya. Masjid yang pertama kali di bangun adalah masjid Quba, yaitu setelah Nabi SAW. hijrah ke Madinah[7]. Seluruh kegiatan umat di fokuskan di masjid termasuk pendidikan. Majelis pendidikan yang dilakukan Rosulullah bersama sahabat di masjid dilakukan dengan sistem halaqoh. Sebagai lembaga pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai sarana informasi dan penyampaian doktrin ajaran Islam. [8]

Semenjak berdirinya masjid pada zaman Nabi SAW. Masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan dan sosial ekonomi. Namun yang lebih penting sebagai lembaga pendidikan, dalam perkembangannya kemudian, dikalangan umat Islam tumbuh semangat untuk menuntut ilmu dan memotivasi ke mereka mengantar anak-anaknya memperoleh pendidikan di masjid sebagai lembaga pendidikan menengah setelah kuttab.

Perkembangan masjid sangat signifikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Hal ini menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi dua bentuk, yaitu masjid tempat sholat Jum'at atau jam’i dan masjid biasa. Masjid Jam’i maupun masjid biasa, keduanya digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan Islam jika dilihat dari persamaannya. Sedangkan jika dilihat dari perbedaannya masjid jam’i dengan masjid biasa, masjid jam’I memiliki halaqoh-halaqoh, majelis-majelis dan zawiat-zawiat.

Kurikulum pendidikan di masjid biasanya merupakan tumpuhan pemerintah untuk memperoleh pejabat-pejabat pemerintah, seperti kodi, khotib, dan imam masjid. Melihat keterkaitan antara masjid dan kekuasaan dalam hal ini dapat dikatakan bahwa masjid merupakan lembaga pendidikan formal.

Pertumbuhan dan Perkembangan lembaga pendidikan masjid pada era awal kurang mendapat perhatian dari penguasa saat itu, karena penguasa telah memusatkan perhatian pada proses penyebaran agama dan perluasan wilayah. Lembaga ini tidak banyak terpengaruh oleh pasang surut politik pemerintahan.

4. SALOON

Saloon dalam bahasa Arab berarti sanggar seni menurut hasan ‘abd. Al-‘al seorang ahli pendidikan Islam alumni Universitas Thantha, menyatakan saloon ini telah berdiri pada masa Abbasiyah dengan nama Al- Shalunat al-Adabiyah, yaitu sanggar seni dan sastra. Beda dengan Harun Nasution bahwa saloon-saloon yang timbul dalam bentuknya yang bersahaja sudah mulai pada zaman bani umayyah, dan kemudian hidup dengan megahnya dizaman bani Abbas, adalah suatu perkembangan dari majelis-majelis khulafaur rasyidin, karena seorang kholifah dalam Islam adalah berfungsi mengatur urusan duniawi, dan berfatwa dalam urusan Agama. Karena itu, maka salah satu syarat-syarat yang terpenting adalah seorang kholifah haruslah berilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang memberi kemampuan kepadanya untuk berijtihad.[9]

Dalam segi bentuk pelaksanaannya saloon-saloon pada masa khulafaur rosyidin sebagai tempaat ajang membaur dengan rakyat untuk menyampaikan Fatwa dan sarana diskusi terhadap berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Saloon-saloon pada masa daulah umayah dan abbasiyah memiliki persamaan dengan masa khulafaur rosyidin, yaitu sebagai saran untuk mencerdaskan manusia dan penyiaran ilmu pengetahuan.

Dari segi perlengkapan saloon-saloon pada masa daulah bani umayyah dan abbasiyah sudah memiliki perabot yang indah. Menurut Abdi Robbih, “pada waktu itu bukan sembarangan yang dibolehkan menghadiri saloon-saloon, hanya lapisan tertentulah yang boleh menghadirinya. Peserta tidak mepunyai kebebasan memilih waktu yang disukainya untuk hadir atau meninggalkan, hadir sesuai dengan waktu yang ditentukan dan pulang setelah diberi tanda oleh kholifah. Misalnya, Muawiyyah bila dia menyebut malam setelah berlalu bangkitlah orang-oreng yang hadir disaloon itu”.

Disisi lain terlihat perbedaannya. Seperti yang dikutip oleh Harun Nasution masa khulafaur rosyidin adanya kemerdekaan penuh untuk menghadirinya ataumeninggalkannya. Bahkan kholifah sendiri biasa dipanggil “yaa amirul mukminin”, orang-orang yang menghadirinya atau meninggalkannya. Masing-masing saloon kesusastraan tersebut memiliki tata susila yang khusus dan kebiasaan yang sudah menjadi tradisional, sehingga setiap yang diperkenankan menghadapnya harus tunduk kepada aturan tersebut. Perkembangan dan kemajuan saloon tersebut sesuai dangan selera masing-masing kholifah. Bahkan kaita bandingkan sekaran saloon-saloon tersebut sudah setara dengan universitas sastra yang ada di dunia. Keberadaan saloon-saloon trsebut maju dan bertahan hingga akhit kholifah abbasyiah.

5. MADRASAH

Madrasah merupakan isim makan dari kata daosa yang berarti belajar. Jadi, madrasah berarti tempat belajar bagi siswa atau maha siswa (umat Islam). Karenanya istilah madrasah tidak hanya diartikan dalam arti sempit tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau , masjid dan lain-lain. Bahkan juga seorang ibu bisa dikatakan sebagai madrasah pemula.

Dalam sejarah pendidikan Islam, makna dari madrasah tersebut memegang peran penting sebagai institusi belajar umat Islam selama pertumbuhan dan perkembangannya. Sebab, pemakaian istilah mdrasah secara devinitif baru muncul pada abad ke sebelas. Penjelasan istilah madrasah merupakan transportasi dari masjid ke madrasah. Ada beberapa teori yang berkembang seputar proses transpormasi tersebut antara lain George Makdis (1981) menjelaskan bahwa madrasah merupakan transpormasi institusi pendidikan Islam dari masjid ke madrasah terjadi secara tidak langsung melalui tiga tahap: pertama tahap masjid. Kedua, tahap masjid-khan; dan ketiga, tahap madrasah.

Ahmad syalabi menjelaskan bahwa transformasi masjid ke madrasah terjadi secara langsung. Karena disebabkan oleh konsekuensi logis dari semakin ramainya kegiatan masjid yang tidak hanya dalam kegiatan ibadah namun juga pendidikan, politik, dan sebagainya[10]. Dilihat dari aspek historis, eksistensi madrasah baik pada abad klasik XXI tidak jauh berbeda. Dinamika madrasah yang tumbuh yang berakar dari kultur masyarakat setempat tidak akan luput dari dinamika dan perbedaan masyarakat. Tidak salah kalau banyak mensiyalir bahwa madrasah tumbuhan berkembang di bawah keatas. Kenyataan ini sering kali kita menemukan madrasah yang mati, namun tetap eksis dan sejalan dengan kehidupan masyarakat setempat, meskipun kehidupann sangat stagnasi.[11]

Madrasah sebagai salah satu institusi pendsidikan Islam merupakan pondasi sekaligus prototipe dari sistem kelanjutan pendidikan Islam (madrasah saat ini). Madrasah Nizam al-muluk, misalnya madrasah yang paling dikalangan ahli sejarah dan kalangan masyarakat Islam. Selanjutnya madrasah nizamiyah merupakan lembaga pendidikan resmi. Dalam perkembangan selanjutnya, madrasah nizomiyah dalam mencermati sekaligus mengaplikasikan sistem pendidikam Islam dewasa ini antara lain:

a. Madrasah sebagai institusi pendidikan Islam dijadikan sebagai saran menghidupkan mazhab-mazhab,

b. Madrasah sebagai institusi pendidikan Islam dijadikan sebagai sarana tempat mengembangkan ilmu-ilmu Islam antara lain : ilmu fiqh, Al- Qur’an, tafsir dll.

Dengan demikian, eksistensi madrasah pada era awal menjadi sejarah yang panjang selama perjalanan peradaban Islam, dan kontribusi terhadap lahirnya intelektual Islam. Ia merupakan transformasi institusi pendidikan Islam sebelumnya seperti, kuttab, rumah, masjid, dan saloon. Melalui institusi ini telah menumbuhkan kecintaan dan gairah pada intelektual Islam terhadap ilmu pengetahuan.[12]

Senin, 05 Oktober 2009

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH DAN SAHABAT

BAB I

PENDAHULUAN

Mempelajari Sejarah Pendidikan Islam amat penting, terutama bagi pelajar-pelajar agama islam dan pemimpin-pemimpin islam. Dengan mempelajari Sejarah Pendidikan Islam kita dapat mengetahui sebab kemajuan dan kemunduran islam baik dari cara didikannya maupun cara ajarannya. Khusunya pendidikan islam pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Sebagai umat islam, hendaknya kita mengetahui sejarah tersebut guna menumbuhkembangkan wawasan generasi mendatang di dalam pengetahuan sejarah tersebut. Sejarah Pendidikan Islam pada masa Nabi Muhammad SAW terdapat dua periode. Yaitu periode Makkah dan periode Madinah.

Pada periode Makkah, Nabi Muhammad lebih menitik beratkan pembinaan moral dan akhlak serta tauhid kepada masyarakat Arab yang bermukim di Makkah dan pada peroide di Madinah Nabi Muhammad SAW melakukan pembinaan di bidang sosial politik. Disinilah pendidikan islam berkembang pesat.

BAB II

PEMBAHASAN

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH DAN SAHABAT

1.Pendidikan Islam Pada Masa Rasulullah

Pendidikan islam pada masa Rasulullah dapat dibedakan menjadi 2 periode:

  1. Periode Makkah
  2. Periode Madinah
  1. Pendidikan Islam Pada Masa Rasulullah di Makkah

Nabi Muhammad SAW menerima wahyu yang pertama di Gua Hira di Makkah pada tahun 610 M.dalam wahyu itu termaktub ayat al-qur’an yang artinya: “Bacalah (ya Muhammad) dengan nama tuhanmu yang telah menjadikan (semesta alam). Dia menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan tuhanmu maha pemurah. Yang mengajarkan dengan pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya[1].

Kemudian disusul oleh wahyu yang kedua termaktub ayat al-qur’an yang artinya: Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah. dan perbuatan dosa tinggalkanlah. dan janganlah kamu member (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah[2].

Dengan turunnya wahyu itu Nabi Muhammad SAW telah diberi tugas oleh Allah, supaya bangun melemparkan kain selimut dan menyingsingkan lengan baju untuk member peringatan dan pengajaran kepada seluruh umat manusia, sebagai tugas suci, tugas mendidik dan mengajarkan islam.kemudian kedua wahyu itu diikuti oleh wahyu-wahyu yang lain. Semuanya itu disampaikan dan diajarkan oleh Nabi, mula-mula kepada karib kerabatnya dan teman sejawatnya dengan sembunyi-sembunyi.

Setelah banyak orang memeluk islam, lalu Nabi menyediakan rumah Al- Arqam bin Abil Arqam untuk tempat pertemuan sahabat-sahabat dan pengikut-pengikutnya. di tempat itulah pendiikan islam pertama dalam sejarah pendidian islam.disanalah Nabi mengajarkan dasar-dasar atau pokok-pokok agama islam kepada sahabat-sahabatnya dan membacakan wahyu-wahyu (ayat-ayat) alqur’an kepada para pengikutnya serta Nabi menerima tamu dan orang-orang yang hendak memeluk agama islam atau menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan agama islam. Bahkan disanalah Nabi beribadah (sholat) bersama sahabat-sahabatnya[3].

Lalu turunlah wahyu untuk menyuruh kepada Nabi, supaya menyiarkan agama islam kepada seluruh penduduk jazirah Arab dengan terang-terangan. Nabi melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya. Banyak tantangan dan penderitaan yang diterima Nabi dan sahabat-sahabatnya. Nabi tetap melakukan penyiaran islam dan mendidik sahabat-sahabatnya dengan pendidikan islam.

Dalam masa pembinaan pendidikan agama islam di Makkah Nabi Muhammad juga mengajarkan alqur’an karena al-qur’an merupakan inti sari dan sumber pokok ajaran islam. Disamping itu Nabi Muhamad SAW, mengajarkan tauhid kepada umatnya[4].

Intinya pendidikan dan pengajaran yang diberikan Nabi selama di Makkah ialah pendidikan keagamaan dan akhlak serta menganjurkan kepda manusia, supaya mempergunakan akal pikirannya memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam semesta seagai anjuran pendidikan ‘akliyah dan ilmiyah.

Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam, menyatakan bahwa pembinaan pendidikan islam pada masa Makkah meliputi:

  1. Pendidikan Keagamaan

Yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata jangan dipersekutukan dengan nama berhala.

  1. Pendidikan Akliyah dan Ilmiah

Yaitu mempelajari kejadian manusiadari segumpal darah dan kejadian alam semesta.

  1. Pendidikan Akhlak dan Budi pekerti

Yaitu Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada sahabatnya agar berakhlak baik sesuai dengan ajaran tauhid.

  1. Pendidikan Jasmani atau Kesehatan.

Yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan dan tempat kediaman.[5]

  1. Pendidikan Islam pada masa Rasulullah di Madinah

Berbeda dengan periode di Makkah, pada periode Madinah islam merupakan kekuatan politik. Ajaran islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad juga mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala Negara.

Cara Nabi melakukan pembinaan dan pengajaran pendidikan agaam islam di Madinah adalah sebagai berikut:

  1. Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru, menuju satu kesatuan sosial dan politik.

Nabi Muhammad SAW mulai meletakkan dasar-dasar terbentuknya masyarakat yang bersatu padu secara intern (ke dalam), dan ke luar diakui dan disegani oleh masyarakat lainnya (sebagai satu kesatuan politik). Dasar-dasar tersebut adalah:

  1. Nabi Muhammad saw mengikis habis sisa-sisa permusuhan dan pertentangan anatr suku, dengan jalan mengikat tali persaudaraan diantara mereka.nabi mempersaudarakan dua-dua orang, mula-mula diantara sesama Muhajirin, kemudian diantara Muhajirin dan Anshar. Dengan lahirnya persaudaraan itu bertambah kokohlah persatuan kaum muslimin.[6]
  2. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Nabi Muhammad menganjurkan kepada kaum Muhajirin untuk berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan dan pekerjaan masing-masing seperti waktu di Makkah.
  3. Untuk menjalin kerjasama dan saling menolong dlam rangka membentuk tata kehidupan masyarakat yang adil dan makmur, turunlah syari’at zakat dan puasa, yang merupakanpendidikan bagi warga masyarakat dalam tanggung jawab sosial, bnaik secara materil maupun moral.
  4. Suatu kebijaksanaan yang sangat efektif dalam pembinaan dan pengembangan masyarakat baru di Madinah, adalah disyari’atkannya media komunikasi berdasarkan wahyu, yaitu shalat juma’t yang dilaksanakan secara berjama’ah dan adzan. Dengan sholat jum’at tersebut hampir seluruh warga masyarakat berkumpul untuk secara langsung mendengar khutbah dari Nabi Muhammad SAW dan shalat jama’ah jum’at

Rasa harga diri dan kebanggaan sosial tersebut lebih mendalam lagi setelah Nabi Muhammad SWA menapat wahyu dari Allah untuk memindahkan kiblat dalam shalat dari Baitul Maqdis ke Baitul Haram Makkah, karena dengan demikian mereka merasa sebagai umat yang memiliki identitas.[7]

Setelah selesai Nabi Muhammad mempersatukan kaum muslimin, sehingga menjadi bersaudara, lalu Nabi mengadakan perjanjian dengan kaum Yahudi, penduduk Madinah. Dalam perjanjian itu ditegaskan, bahwa kaum Yahudi bersahabat dengan kaum muslimin, tolong- menolong , bantu-membantu, terutama bila ada seranga musuh terhadap Madinah. Mereka harus memperhatikan negri bersama-sama kaum Muslimin, disamping itu kaum Yahudi merdeka memeluk agamanya dan bebas beribadat menurut kepercayaannya. Inilah salah satu perjanjian persahabatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.[8]

  1. Pendidikan sosial politik dan kewarganegaraan.

Materi pendidikan sosial dan kewarnegaraan islam pada masa itu adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam konstitusi Madinah, yang dalam prakteknya diperinci lebih lanjut dan di sempurnakan dengan ayat-ayat yang turun Selama periode Madinah.

Tujuan pembinaan adalah agar secara berangsur-angsur, pokok-pokok pikiran konstitusi Madinah diakui dan berlaku bukan hanya di Madinah saja, tetapi luas, baik dalam kehidupan bangsa Arab maupun dalam kehidupan bangsa-bangsa di seluruh dunia.

  1. Pendidikan anak dalam islam

Dalam islam, anak merupakan pewaris ajaran islam yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad saw dan gnerasi muda muslimlah yang akan melanjutkan misi menyampaikan islam ke seluruh penjuru alam. Oleh karenanya banyak peringatan-peringatan dalam Al-qur’an berkaitan dengan itu. Diantara peringatan-peringatan tersebut antara lain:

  • Pada surat At-Tahrim ayat 6 terdapat peringatan agar kita menjaga diri dan anggota keluarga (termasuk anak-anak) dari kehancuran (api neraka)
  • Pada surat An-Nisa ayat 9, terdapat agar janagan meninggalkan anak dan keturunan dalam keadaan lemah dan tidak berdaya menghadapi tantangan hidup.
  • Pada surat Al-Furqan ayat 74, Allah SWT memperingatkan bahwa orang yang mendapatkan kemuliaan antara lain adalah orang-orang yang berdo’a dan memohon kepada Allah SWT, agar dikaruniai keluarga dan anak keturunan yang menyenangkan hati.[9]

Adapun garis-garis besar materi pendidikan anak dalam islam yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah SWT dalam surat Luqman ayat 13-19 adalah sebagai berikut:

  1. Pendidikan Tauhid
  2. Pendidikan Shalat
  3. Pendidikan adab sopan dan santun dalam bermasyarakat
  4. Pendidikan adab dan sopan santun dalam keluarga
  5. Pendidikan kepribadian[10]
  6. Pendidikan kesehatan
  7. Pendidikan akhlak.[11]

Perbedaan ciri pokok pembinaan pendidikan islam periode kota Makkah dan kota Madinah:

  • Periode kota Makkah:

Pokok pembinaan pendidikan islam di kota Makkah adalah pendidikan tauhid, titik beratnya adalah menanamkan nilai-nilai tauhid ke dalam jiwa setiap individu muslim, agar jiwa mereka terpancar sinar tauhid dan tercermin dalam perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.

  • Periode kota Madinah:

Pokok pembinaan pendidikan islam di kota Madinah dapat dikatakan sebagai pendidikan sosial dan politik. Yang merupakan kelanjutan dari pendidikan tauhid di Makkah, yaitu pembinaan di bidang pendidikan sosial dan politik agar dijiwai oleh ajaran , merupakan cermin dan pantulan sinar tauhid tersebut.

  1. Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa Rasulullah SAW

Mengindentifikasikan kurikulum pendidikan pada zaman Rasulullah terasa sulit, sebab Rasul mengajar pada sekolah kehidupan yang luas tanpa di batasi dinding kelas. Rasulullah memanfaatkan berbagai kesempatan yang mengandung nilai-nilai pendidikan dan rasulullah menyampaikan ajarannya dimana saja seperti di rumah, di masjid, di jalan, dan di tempat-tempat lainnya.

Sistem pendidikan islam lebih bertumpu kepada Nabi, sebab selain Nabi tidak ada yang mempunyai otoritas untuk menentukan materi-materi pendidikan islam.Dapat dibedakan menjadi dua periode:

  1. Makkah
  • Materi yang diajarkan hanya berkisar pada ayat-ayat Makiyyah sejumlah 93 surat dan petunjuk-petunjuknya yang dikenal dengan sebutan sunnah dan hadits.
  • Materi yang diajarkan menerangkan tentang kajian keagamaan yang menitikberatkan pada keimanan, ibadah dan akhlak.
  1. Madinah
  • upaya pendidikan yang dilakukan Nabi pertama-tama membangun lembaga masjid, melalui masjid ini Nabi memberikan pendidikan islam.
  • Materi pendidikan islam yang diajarkan berkisar pada bidang keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan jasmanai dan pengetahuan kemasyarakatan
  • Metode yang dikembangkan oleh Nabi adalah:
  1. Dalam bidang keimanan: melalui Tanya jawab dengan penghayatan yang mendalam dan di dukung oleh bukti-bukti yang rational dan ilmiah.
  2. Materi ibadah : disampaikan dengan metode demonstrasi dan peneladanan sehingga mudah didikuti masyarakat.
  3. Bidang akhlak: Nabi menitikberatkan pada metode peneladanan. Nabi tampil dalam kehidupan sebagai orang yang memiliki kemuliaan dan keagungan baik dalam ucapan maupun perbuatan.[12]

  1. Kebijakan Rasulullah Dalam Bidang Pendidikan

Untuk melaksanakan fungsi utamanya sebagai pendidik, Rasulullah telah melakukan serangkaian kebijakan yang amat strategis serta sesuai dengan situasi dan kondisi.

Proses pendidikan pada zaman Rasulullah berada di Makkah belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal yang demikian belum di mungkinkan, kaena pada saat itu Nabi Muhammmad belum berperan sebagai pemimipin atau kepala Negara, bahkan beliau dan para pengikutnya berada dalam baying-bayang ancaman pembunuhan dan kaum kafir quraisy. Selama di Makkah pendidikan berlangsung dari rumah ke rumah secara sembunyi-sembunyi. Diantaranya yang terkenal adalah rumah Al- Arqam. Langkah yang bijaka dilakukan Nabi Muhammad SAW pada tahap awal islam ini adalah melarang para pengikutnya untuk menampakkan keislamannya dalam berbagai hak.tidak menemui mereka kecuali dengan cra sembunyi-sembunyi dalam mendidik mereka.

Setelah masyarakat islam terbentuk di Madinah barulah, barulah pendidikan islam dapat berjalan dengan leluasa dan terbuka secara umum.dan kebijakan yang telah dilakukan Nabi Muhammmad ketika di Madinah adalah:

  1. Membangun masjid di Madinah. Masjid inilah yang selanjutnya digunakan sebagai pusat kegiatan pendidikan dan dakwah.
  2. Mempersatukan berbagai potensi yang semula saling berserakan bahkan saling bermusuhan. Langkah ini dituangkan dalam dokumen yang lebih popular disebut piagam Madinah. Dengan adanya piagam tersebut terwujudlah keadaan masyarakat yang tenang, harmonis dan damai.[13]

2.Pendidikan Islam Pada Masa Kulafa al-Rasyidin

Tahun-tahun pemerintahan Khulafa al-Rasyidin merupakan perjuangan terus menerus antara hak yang mereka bawa dan dakwahkan kebatilan yang mereka perangi dan musuhi. Pada zaman khulafa al-Rasyidin seakan-akan kehidupan Rasulullah SAW itu terulang kembali. Pendidikan islam masih tetap memantulkanAl-Qur’an dan Sunnah di ibu kota khilafah di Makkah, di Madinah dan di berbagai negri lain yang ditaklukan oleh orang-orang islam.[14]

Berikut penguraian tentang pendidikan Islam pada masa Khulafa al- Rasyidin:

  1. Masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq

Pola pendidikan pada masa Abu Bakar masih seperti pada masa Nabi, baik dari segi materi maupun lembaga pendidikannya. Dari segi materi pendidikan Islam terdiri dari pendidikan tauhid atau keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan, dan lain sebagainya. Menurut Ahmad Syalabi lembaga untuk belajar membaca menulis ini disebut dengan Kuttab. Kuttab merupakan lembaga pendidikan yang dibentuk setelah masjid, selanjutnya Asama Hasan Fahmi mengatakan bahwa Kuttab didirikan oleh orang-orang Arab pada masa Abu Bakar dan pusat pembelajaran pada masa ini adalah Madinah, sedangkan yang bertindak sebagai tenaga pendidik adalah para sahabat rasul terdekat.[15]

Lembaga pendidikan Islam masjid, masjid dijadikan sebagai benteng pertahanan rohani, tempat pertemuan, dan lembaga pendidikan Islam, sebagai tempat shalat berjama’ah, membaca Al-qur’an dan lain sebagainya.

  1. Masa Khalifah Umar bin Khattab

Berkaitan dengan masalah pendidikan, khalifah Umar bin Khattab merupakan seorang pendidik yang melakukan penyuluhan pendidikan di kota Madinah, beliau juga menerapkan pendidikan di masjid-masjid dan pasar-pasar serta mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk tiap-tiap daerah yang ditaklukan itu, mereka bertugas mengajarkan isi Al-qur’an dan ajaran Islam lainnya. Adapun metode yang mereka pakai adalah guru duduk di halaman masjid sedangkan murid melingkarinya.

Pelaksanaan pendidikan di masa Khalifah Umar bin Kattab lebih maju, sebab selama Umar memerintah Negara berada dalam keadaan stabil dan aman, ini disebabkan disamping telah ditetapkannya masjid sebagai pusat pendidikan juga telah terbentuknya pusat-pusat pendidikan Islam di berbagai kota dengan materi yang dikembangkan, baik dari segi ilmu bahasa, menulis, dan pokok ilmu-ilmu lainnya.[16]

Pendidikan dikelola di bawah pengaturan gubernur yang berkuasa saat itu,serta diiringi kemajuan di berbagai bidang, seperti jawatan pos, kepolisian, baitulmal dan sebagainya. Adapun sumber gaji para pendidik waktu itu diambilkan dari daerah yang ditaklukan dan dari baitulmal.

  1. Masa Khalifah Usman bin Affan.

Pada masa khalifah Usman bin Affan, pelaksanaan pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Pendidikan di masa ini hanya melanjutkan apa yang telah ada, namun hanya sedikit terjadi perubahan yang mewarnai pendidikan Islam. Para sahabat yang berpengaruh dan dekat dengan Rasulullah yang tidak diperbolehkan meninggalkan Madinah di masa khalifah Umar, diberikan kelonggaran untuk keluar di daerah-daerah yang mereka sukai. Kebijakan ini sangat besar pengaruhnya bagi pelaksanaan pendidikan di daerah-daerah.

Proses pelaksanaan pola pendidikan pada masa Usman ini lebih ringan dan lebih mudah dijangkau oleh seluruh peserta didik yang ingin menuntut dan belajar Islam dan dari segi pusat pendidikan juga lebih banyak, sebab pada masa ini para sahabat memilih tempat yang mereka inginkan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat.[17]

Tugas mendidik dan mengajar umat pada masa ini diserahkan pada umat itu sendiri, artinya pemerintah tidak mengangkat guru-guru, dengan demikian para pendidik sendiri melaksanakan tugasnya hanya dengan mengharapkan keridhaan Allah.

  1. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib

Pada masa Ali telah terjadi kekacauan dan pemberontakan, sehingga di masa ia berkuasa pemerintahannya tidak stabil. Dengan kericuhan politik pada masa Ali berkuasa, kegiatan pendidikan Islam mendapat hambatan dan gangguan. Pada saat itu ali tidak sempat lagi memikirkan masalah pendidikan sebab keseluruhan perhatiannya itu ditumpahkan pada masalah keamanan dan kedamaian bagi seluruh masyarakat Islam.[18]

Adapun pusat-pusat pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin antara lain:

  1. Makkah
  2. Madinah
  3. Basrah
  4. Kuffah
  5. Damsyik (Syam)
  6. Mesir.[19]

  1. Kurikulum Pendidikan Islam Masa khulafa al Rasyidin (632-661M./ 12-41H)

Sistem pendidikan islam pada masa khulafa al-Rasyidin dilakukan secara mandiri,tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa Khalifah Umar bin al;khattab yang turut campur dalam menambahkan materi kurikulum pada lembaga kuttab.

Materi pendidikan islam yang diajarkan pada masa khalifah Al-Rasyidin sebelum masa Umar bin Khattab, untuk pendidikan dasar:

  1. Membaca dan menulis
  2. Membaca dan menghafal Al-Qur’an
  3. Pokok-pokok agama islam, seperti cara wudlu, shalat, shaum dan sebagainya

Ketika Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah, ia menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak diajari:

  1. Berenang
  2. Mengendarai unta
  3. Memanah
  4. Membaca dan menghapal syair-syair yang mudah dan peribahasa.

Sedangkan materi pendidikan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari:

  1. Al-qur’an dan tafsirnya
  2. Hadits dan pengumpulannya
  3. Fiqh (tasyri’)[20]

BAB III

KESIMPULAN

  • Pokok pembinaan pendidikan islam di kota Makkah adalah pendidikan tauhid, titik beratnya adalah menanamkan nilai-nilai tauhid ke dalam jiwa setiap individu muslim, agar jiwa mereka terpancar sinar tauhid dan tercermin dalam perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
  • Pokok pembinaan pendidikan islam di kota Madinah dapat dikatakan sebagai pendidikan sosial dan politik. Yang merupakan kelanjutan dari pendidikan tauhid di Makkah, yaitu pembinaan di bidang pendidikan sosial dan politik agar dijiwai oleh ajaran , merupakan cermin dan pantulan sinar tauhid tersebut.
  • Pendidikan pada masa khalifah Abu Bakar tidak jauh berbeda dengan pendidikan pada masa Rasulullah. Pada masa khalifah Unar bin Khattab, pendidikan sudah lebih meningkat dimana pada masa khalifah Umar, guru-guru sudah diangkat dan digaji untuk mengajar ke daerah-daerah yang baru ditaklukan. Pada masa khalifah Usman bin Affan, pendidikan diserahkan pada rakyat dan sahabat tidak hanya terfokus di Madinah saja, tetapi sudah di bolehkan ke daerah-daerah untuk mengajar.pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, pendidikan kurang mendapat perhatian, ini disebabkan pemerintahan Ali selalu dilanda konflik yang berujung kepada kekacauan.

DAFTAR PUSTAKA

Arief,Armai, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik. Bandung: Penerbit Angkasa,2005.

Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Husna, 1988.

Nata, Abuddin, Pendidikan Islam Perspektif Hadits. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008

Yunus , Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992

Zuhairini,dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,cet.9,2008

[1]


[1] (Q.S. Al-Alaq: 1-5)

[2] (Q.S. Al-Mudatsir: 1-7)

[3] Prof. Dr.H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992. Hal 6

[4] Dra. Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet.9, 2008. Hal 28

[5] Dra.Zuhairini,dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet.9,2008 hal 27

[6] Prof.Dr.H.Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:PT.Raja Grafindo, 1992 Persada,2008. Hal 26

[7] Dra. Zuhairini,dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet.9,2008 hal 37

[8] Prof.Dr.H.Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:PT. Hidakarya Agung, 1992. hal 16

[9] Dra.Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara cet.9,2008 hal 55

[10] Dra. Zuhairini,dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,cet.9,2008 hal 58

[11]Prof.Dr.H.Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung,1992.hal 18

[12] Dr.Armai Arief, MA, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik. Bandung: Penerbit Angkasa,2005. Hal 135-136

[13] Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, Pendidikan Islam Perspektif Hadits. Ciputat: UIN Jakarta Press 2005 hal 24

[14] Prof. Dr. Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Husna, 1988. Hal 121

[15] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.ag, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008 hal 45

[16] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.ag, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008 hal 48

[17] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.ag, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008 hal 49

[18] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.ag, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008 hal 50

[19] Prof.Dr.H.Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung,1992.hal 33

20Dr.Armai Arief, MA, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik. Bandung: Penerbit Angkasa,2005. Hal 137

[20]


sumber: makalah kelompok 1 SPI 2 ,Kelas 3D UIN Jakarta.