Selasa, 16 Agustus 2011

PENGARUH ALIRAN-ALIRAN POLITIK (SYI’AH, KHAWARIJ DAN SUNNI) TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

PENGARUH ALIRAN KHAWARIJ, SYI’AH DAN SUNNI

TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

A. KHAWARIJ

Kaum Khawarij menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kata Yasyriy yang artinya menjual atau mengorbankan diri kepada Allah.[1]

Khawarij awalnya adalah kelompok yang loyal terhadap Ali bin Abi Thalib namun kemudian berbalik arah, mereka kebanyakan berasal dari Orang- orang Badui yang berfikir lurus dann keras, Ali dianggap bekas pengikutnya ini telah salah, karena menghentikan peperangan, sedangkan Muawiyah adalah gubernur pemberontak terhadap pemerintahan yang syah. Dalam pandangan kelompok ini, kedua kubu politik yang disebutkan diatas adalah salah dan sesat. Khawarij juga melahirkan beberapa sekte, diantaranya Muhakkimah, Azzariqoh, Najdah, dan Ajaridah. Adapun pemikiran fiqihnya antara lain :

1. Khalifah tidak harus orang Quraisy, tapi siapa saja yang mampu memimpin. Berbeda dengan Sunni yang mengharuskan pemimpin dari suku Quraisy. Selain itu, orang yang melakukan dosa besar, seperti halnya Utsman, Ali, Abu Musa, Muawiyah, dan Amru bin Ash tergolong kafir. Mereka pun berpendapat bahwa wajib hhukumnya untuk menentang pemerintahan dzalim, termasuk Ali dan Muawiyah.

2. Amalan ibadah berupa shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya termasuk dalam rukum iman, sehingga iman tidak cukup dengan penetapan didalam hati dan ikrar dilisan saja.

3. Hukuman zinah cukkup dipukul 100 kali sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, sedang rajam adalah ajaran hadits sebgaia tambahan dari Al-Qur’an.

4. Ayat “Banatukum” dalam ayat larangan nikah, cukup diartikan anak perempuan, jadi cucu boleh dinikahi oleh kakeknya.

5. Selain kelompok Khawarij adalah kafir, dan kafir haram dinikahi.

6. Yang disebut Ghanimah adalah senjata, kuda dan perlengkapan lainnya, yang selain itu bukanlah disebut Ghanimah.

7. Ayat “Laa Washiyata Li warisin” tidak berlaku. Sehingga ahli waris boleh mendapatkan warisan.

8. Radho’ah” tidak menghalangi perkawinan sehingga saudara satu susu boleh dinikahi.

9. Thaharah adalah suci lahir dan bathin, konseksuensi logisnya adalah apabila ketika akan shalat atau dalam shalat berpikir sesuatu yang kotor dan membuat bathin kotor maka shalat itu batal.

Pemahaman Khawarij ini berimlpikasi terhadap pemahaman fiqih. Beberapa pendapat mereka yang dapat dikemukakan diantaranya adalah masalah thaharah. Sebagaimana disebutkan oleh Manna Al-Qatthan, kaum Khawarij salah satu kelompok Islam yang paling ekstrim dalam melihat sesuatu, baik itu dalam iman atau kekafiran.

Khawarij hanya mengakui Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber Tasyri’ sehingga mereka tak mengakui adanya sunnah, ijma’ atau yang lainnya. Akibatnya adalah mereka selalu menentang dan tidak sependapat ketika salah satu paham berbeda dengan Al-Qur’an. Hal ini terlihat ketika mereka menilai bagaimana para sahabat atau tabi’in menggunakan sunnah dan ijma’.[2]

B. SYI’AH

Syiah berasal dari bahasa Arab, artinya pengikut atau golongan. Kata jamaknya adalah Syiya'un. Syiah adalah kelompok muslim yang setia kepada Ali r.a dan keluarga serta keturunannya. Mereka berpendapat bahwa khalifah itu sebenarnya hak Ali sebagai penerima wasiat langsung dari Rasulullah saw untuk menggantikan kepemimpinan beliau.[3]

Syi’ah adalah segolongan dari umat Islam yang sangat mencintai Ali bin Abi Thalib dan keturunannya secara berlebih-lebihan. Golongan syi’ah berpendapat bahwa yang paling berhak memangku jabatan khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, sebab dialah yang diwasiatkan oleh Nabi SAW untuk menjadi khalifah setelah beliau wafat.

Syi’ah ini dalam kaitannya dengan masalah pewaris jabatan khalifah, terbagi-bagi dalam berbagai sekte, ada Syi’ah Kaisaniyah, Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah, dan Syi’ah Ja’fariyah. Masing-masnig sekte tersebut menjadikan hak jabatan khalifah pada bagian tertentu dari keturunan Ali bin Abi Thalib.[4]

Dalam refrensi lain bahwa Syi’ah dalam perkembangannya mereka mengkultuskan Ali dan keluarganya, sehingga mereka pun percaya bahwa Ali dan keluarganya adalah maksum. Sementara aliran fiqih dalam Syi’ah ada dua, yakni Ushuli dan Akhbari.

Seperti halnya dengan Khawarij, Syi’ah tidak mengakui adanya ijma’ atau qiyas. Qiyas ditolak karena berdasarkan pada akal, bukan nash. Syi’ah hanya mengakui Allah, Rasul-Nya dan Imam sebagai sumber otoritas pembentukan hukum Islam, sehingga pendapat kelompok ini banyak berbeda dengan pendapat Sunni, baik dalam Ushul atau Furu’. Dalam Ushul misalnya, mereka menolak adanya nasakh dan mansukh, sehingga mereka membolehkan adanya nikah mut’ah sampai hari kiamat kelak.

Diantara contoh pemikiran hukum golongan Syi’ah adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an mempunyai dua arti lahir dan bathin, yang mengetahui keduanya hanyalah Allah, Rasul dan Imam. Imam mengetahui makna bahtin Al-Qur’an, karena para Imam tersebut dianggap maksum oleh mereka dan diberikan ilmu yang setaraf dengan kenabian, masyarakat umum hanya mengetahui dzahirnya saja.

2. Membolehkan nikah mut’ah.

3. Orang syiah mengharamkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab.

4. Hadits Nabi yang dianggap shahih oleh kelompok ini hanyalah hadits-hadits yang diriwayatkan dengan jalur-jalur para imam mereka. Hadits yang diriwayatkan oleh kalangan Ahlus Sunnah, meskipun derajat keshahihannya tinggi tidak akan diterima oleh mereka. Demikian pula dalam masalah furu’ dan ushul mereka akan menerima jika disetujui oleh Imam mereka.

5. Dalam kalimat azan “Hayya ‘Alal Falah” dalam pandangan Syi’ah ditambah satu kalimat lagi yaitu “Hayya ‘Ala Khairil Amal”.

6. Masalah warisan bagi perempuan, perempuan hanya mendapatkan benda bergerak saja, tidak seluruh jenis harta.

7. Waktu shalat hanya tiga, dzuhur dan ashar (Dhuluqi syamsi), Magrib dan Isya (Ghosyaqillaili) dan subuh (Qur’anal Fajri).

8. Dalam sujud tidak menggunakan alas tempat sujud yang dibuat tangan. Biasanya mereka menggunakan tanah atau batu dari karbala.[5]

C. SUNNI (AHLUS- SUNNAH WAL JAMA’AH)

Golongan ini adalah orang-orang yang bersikab abstain (apolitis) dan tidak ikut-ikutan terjun kedalam pergolakan politik. Mereka tidak mau bergabung dengan pasukan Ali dan para lawan politiknya. Kelompok ini menempuh jalur ilmu yang benar dan manhaj yang lurus serta kajian yang tepat dalam memahami agama Allah, memahami secara teliti terhadap ajaran syari’at berdasarkan penjelasan Al-Qur’an dan Sunnah yang suci serta riwayat-riwayat dari para sahabat, serta menghindari segala pengaruh fitnah yang terjadi diantara sahabat diakhir khalifah Ali bin Abi Thalib.

Metode yang dipakai golongan ini pada akhirnya melahirkan dua aliran dalam mengistinbat hukum Syari’at:

1. Kelompok yang berpegang pada dzahirnya nash-nash saja dan pengikut aliran ini dinamakan ahli hadits.

2. Kelompok yang mencari ilat-ilat hokum dan hikmahnya dari nash-nash baik Al-Qur’a dan sunnah dan kelompok ini dinamakan ahlul ra’yi.[6]

Golongan ini disebut juga dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang berarti penganut sunnah Nabi, sedangkan wal Jama'ah ialah penganut i'tiqad Jama'ah sahabat-sahabat Nabi. Jadi, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah ialah kaum yang menganut i'tiqad sebagai i'tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabat beliau. Ahlussunnah wal Jama'ah adalah golongan umat Islam yang tidak mengikuti pendirian Syiah dan Khawarij. Golongan ini tidak berpendapat bahwa jabatan khalifah itu merupakan wasiat yang diberikan kepada seseorang. Tetapi mereka berpendapat bahwa jabatan khalifah itu dipilih dari suku Quraisy yang cakap kalau ada. Golongan ini tidak mengutamakan khalifah-khalifah dengan yang lain dari kalangan sahabat. Mereka menta'wilkan persengketaan yang terjadi dikalangan sahabat dengan soal ijtihad dalam politik pemerintahan yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah iman dan kafir. Termasuk prinsip yang diyakini oleh golongan ini adalah bahwa Diin dan Iman merupakan ucapan dan perbuatan, ucapan hati dan lisan, serta perbuatan hati, lisan dan anggota badan. Dan sesungguhnya iman dapat bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat.

Diantara pemikiran hukum Islam Ahlussunnah wal jama'ah adalah :

1. Penolakan terhadap keabsahan nikah mut'ah. Bagi Jumhur, nikah mut'ah haram dilakukan

2. Jumhur menggunakan konsep aul dalam pembagian harta pusaka

3. Nabi Muhammad saw tidak dapat mewariskan harta

4. Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode adalah 4 orang (penafsiran terhadap surat An Nisa ayat 3 dan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

5. Persaudaraan iman masih tetap berlaku dan dibenarkan meskipun mereka bermaksiat

6. Orang-orang fasik tidak berarti kehilangan iman secara keseluruhan, dan mereka tidak kekal dalam neraka, dan masih tergolong beriman atau bisa juga dikatakan beriman tidak secara mutlak

7. Para sahabat itu dimaafkan Allah, baik mereka yang melakukan ijtihad dengan hasil yang benar maupun yang salah. Akan tetapi mereka tidak meyakini bahwa para sahabat itu ma'sum dari dosa-dosa besar dan kecil.[7]

BAB III

KESIMPULAN

Khawarij awalnya adalah kelompok yang loyal terhadap Ali bin Abi Thalib namun kemudian berbalik arah, mereka kebanyakan berasal dari Orang- orang Badui yang berfikir lurus dann keras, Ali dianggap bekas pengikutnya ini telah salah, karena menghentikan peperangan, sedangkan Muawiyah adalah gubernur pemberontak terhadap pemerintahan yang syah.

Syi’ah adalah segolongan dari umat Islam yang sangat mencintai Ali bin Abi Thalib dan keturunannya secara berlebih-lebihan. Golongan syi’ah berpendapat bahwa yang paling berhak memangku jabatan khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, sebab dialah yang diwasiatkan oleh Nabi SAW untuk menjadi khalifah setelah beliau wafat.

Ahlussunnah wal Jama'ah ialah kaum yang menganut i'tiqad sebagai i'tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabat beliau. Ahlussunnah wal Jama'ah adalah golongan umat Islam yang tidak mengikuti pendirian Syiah dan Khawarij.



[1] http://www.docstoc.com/?doc_id=68014520&download=1

[2] Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri (Sejarah Pembentukan Hukum Islam), (Depok: Gramata Publishing, 2010), hal. 104-105

[3] http://www.docstoc.com/?doc_id=68014520&download=1

[4]Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), hal. 61

[5] Yayan Sopyan. Hal... 106-107

[6] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyi (Sejarah Legsilasi Hukum Islam), (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009). hal. 83.

[7] http://www.docstoc.com/?doc_id=68014520&download=1

MAHABBAH Rabiah Al-Adawiyah

Rabi’ah al-‘adawiyah

Rabi’ah berasal dari basrah, beliau hidup dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang biasa dengan kehidupan orang saleh dan penuh zuhud, sejak kecil beliau sudah tampak kecerdasannya, sesuatu yang tak biasa tampak pada anak kecil seusianya. Oleh karena itu beliau amat sangat menyadari panderitaan dan keadaan yang dihadapi orang tuanya, kendatipun demikian tidak mengurangi ketaqwaan dan pengabdian beliau dan keluarga kepada Allah SWT. semasa kecil beliau cenderung pendiam dan tidak banyak menuntut kepada orang tuanya seperti gadis yang lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari beliau selalu memperhatikan bagaimana ayahnya beribadah kepada Allah, seperti berzikir, membaca Al-qur’an dan ibadah yang lainnya yang beliau teladani dari ayahnya, termasuk dalam hal memilih makanan yang halal, sampai suatu ketika Rabi’ah kecil berdiri di samping ayahnya yang hendak makan di meja makan, kemudian rabiah terdiam seolah meminta penjelasan dari ayahnya tentang makanan yang telah disajikan, kemudian rabiah berkata:”ayah, aku tidak ingin ayah menyediakan makanan yang tidak halal”, dengan wajah penuh heran ayahnya menatap wajah Rabiah kecil itu sambil bertanya balik:”bagaimana pendapatmu jika tidak ada yang diperoleh selain yang tidak halal?”, beliau menjawab:”biar saja kita menahan lapar di dunia, lebih baik kita menahan pedihnya api neraka”, ini membuktikan bahwa sejak kecil beliau sudah menunjukkan kematanagn pemikiran dan memiliki akhlak yang baik.

Beliau ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya ke rahmatullah di usianya yang masih kecil bersama ketiga orang saudara perempaunnya tanpa diwarisi sepeser uang pun, hanya perahu yang sehari-hari digunakan ayahnya untuk menyebrangi orang ke tepi sungai Dajlah. Semenjak itulah beliau selalu merasakan kesedihan yang amat sangat mendalam yang hanya bisa terobati ketika beliau beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT, sampai akhirnya beliau di datangi para malaikat yang bercahaya yang memberikan kabar bahwa beliau adalah orang pilihan Allah, dan sejak saat itu beliau memutuskan untuk tidak memperdulikan dunia dan memilih untuk mengabdi kepada Allah. Bahkan yang lebih hebat beliau memutuskan untuk tidak mau menikah karena alasan yang bersifat moral dan spiritual, sebagaimana hasan Al-bashri yang hendak bertanya kepada beliau tentang alasan kenapa beliau tidak mau menikah, beliau menjawab:”pernikahan merupakan keharusan bagi orang yang memiliki pilihan, sedangkan aku tidak ada pilihan dalam hatiku. Aku hanya untuk Tuhanku dan taat pada perintahNya”. Sedangkan dalam riwayat lain beliau ditanya kenapa memutuskan untuk tidak menikah, beliau menjawab:”di dalam hatiku terdapat tiga keprihatinan, barang siapa yang dapat melenyapkannya, maka aku akan mutuskan untuk menikah dengannya, yang pertama apabila aku mati, apakah ada yang bisa menjamin jika aku menghadap Allah dalam keadaan beriman dan suci?, kedua apakah ada yang bisa menjamin bahwa aku akan menerima catatan amalku dengan tangan kanan?, dan yang ketiga apakah ada yang mengetahu kalau nanti aku akan masuk golongan kanan (surga) atau kiri (neraka)? Jika tidak ada yang dapat menghilangkan rasa cemas dan keprihatinanku, maka bagaimana mungkin aku akan mampu berumah tangga, apalagi meninggalkan zikir kepada Allah, walaupun sekejap”.

Rasa cinta tak mungkin terwujud kecuali setelah tertanam keyakinan yang teguh, dan karena itu pula orang yang paling sempurna cintanya kepada Allah adalah Nabi Muhammad SAW sehingga orang-orang Arab memberikan julukan “Muhammad adalah kekasih Allah”. Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan bahwa cinta adalah jalan untuk merasakan kenikmatan iman, mengenai hal ini beliau bersabda:”ada tiga hal jika dimiliki seseorang, ia akan merasakan betapa nikmat dan manisnya iman. Pertama bahwa ia lebih mencintai Allah dan RasulNya dari pada apapun, yang kedua jika ia mencintai seseorang, maka cintanya karena Allah, dan yang ketiga ia benci menjadi kafir lagi setelah Allah menyelamatkannya seperti ia tidak senang dilempar ke dalam neraka”. Selain itu rasa cinta sulit sekali untuk didefinisikan, sebab perasaan yang terkandung di dalam sanubari manusia terlalu luas untuk didefinisikan, namun diantara tanda-tanda seorang yang cinta kepadaNya adalah selalu menyambut seruan orang yang dicintainya, melaksanakan segala yang diperintahNya, selain itu ia melepaskan dirinya dari ikatan dosa dan maksiat, lalu bergerak maju menuju yang maha esa, ingin selalu dekat padaNya dengan, selalu rindu padaNya, ingin selalu menghadap dan bermunajat padaNya dan jika berjauhan ia selalu merasa tersiksa.

Sedangkan kerinduan adalah keinginan hati untuk melihat kekasih, bagaikan api Allh yang dikobarkan di hati kekasihNya sehingga membakar kecemasan, nafsu yang terpendam di hati mereka. Bila seorang hamba telah mencapai batas kerinduan maka ia ingin segera menmui kekasihnya, sekan-akan ia ingin terbang menemuiNya. Kalau cinta sudah mencapai tingkat kerinduan, maka lama kelamaan perasaan itu berkembang menjadi cinta yang membara, sehingga bila mendengar nama Allah yang maha suci, bergetar seluruh jiwa raganya dan berkobar rasa rindu dalam hatinya. Bila kerinduan dan keinginan yang menggelora semakin besar, maka cinta pun akan meningkat pada derajat fana (tidak merasakan apa yang dilihat secara zohir, karena yang dirasakan hanyalah Allah semata) ia tidak lagi merasakan penderitaan, kepedihan, atau cobaan apapun yang menimpanya.[1]

Ja’far sulaiman, beliau menuturkan bahwa Sufyan ats-Sauri memegang tanganku dan berkata tentang Rabiatul adawiyyah: ‘bawalah aku kepada guru (Rabiah), sebab jika aku berpisah darinya maka aku tidak akan mendapatkan ketentraman”. Dan ketika kami sampai di rumah Rabi’ah, sufyan mengangkat tangannya dan berkata:”wahai tuhan, berilah aku keselamatan!”. Mendengar itu Rabi’ah menangis sambil berkata:”tidaklah engkau tahu bahwwa keselamatan sejati dari dunia hanya dapat dicapai dengan meninggalkan semua yang ada di dalamnya, jadi bagaimana kau bisa meminta seperti itu jikalau masih berlumuran dunia?”.

Syaiban al-ubulli menuturkan: aku mendengar Rabiah berkata “setiap sesuatu memiliki buah, dan buah pengetahuan tentang tuhan (marifat) adalah orientasi diri kepada tuhan setiap saat”. Dan dalam penuturan yang lain rabiah pernah ditanya tentang kecintaannya kepada nabi Muhammad SAW, beliau menjawab “sungguh aku cinta kepadanya, tetapi cinta kepada sang pencipta telah memalingkan aku dari cinta kepada makhluk”.

Muhammad bin washi pernah bertanya kepada Rabiah, kenapa kau (Rabiah) berjalan seperti orang mabuk (terduyun-duyun), Rabiah menjawab “semalam aku mabuk oleh cinta kepada tuhanku hingga aku bangun dalam keadaan mabuk karenanya”.

Sufyan ats-tsauri bertanya kepada Rabiah “bagaimanakah cara yang paling baik untuk mendekatkan diri kapada Allah?”, beliau menjawab sambil menangis;”cara yang terbaik bagi seorang hamba untuk mendekati Allah adalah dia harus tahu bahwa dia tidak boleh mencintai apapun di dunia atau diakhirat ini selain Dia”.[2]

Mengenai akhir hidup Rabiah, Muhammad bin Amr berkata, “Aku datang melihat Rabiah, ia seorang wanita yang sudah tua, berusia delapan puluh tahun, seolah-olah kelihatan seperti tempat air yang hampir jatuh dari gantungannya. Ketika ajalnya hampir tiba, ia memanggil Abdah binti Abi Shawwal yang telah menemaninya dengan baik, sehingga ia merupakan sahabatnya dan pembantunya yang paling baik dan setia. Kepada Abdah ia berpesan, “Janganlah kematianku sampai menyusahkan orang lain, bungkuslah mayatku dengan jubahku.

Rabiah memang tidak ingin menyusahkan orang lain. Beberapa orang saleh ingin mendampingi di saat-saat terakhirnya, tetapi Rabiah menolak didampingi pada saat-saat seperti itu. “bangunlah dan keluarlah !” lapangkanlah jalan untuk utusan Allah (malaikat) yang akan datang menjemputku.” Mereka bangkit lalu keluar. Ketika mereka menutup pintu, terdengar suara Rabiah mengucapkan syahadat, lalu dijawab oleh suara:

$pkçJ­ƒr'¯»tƒ ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuŠÅÊ#u Zp¨ŠÅÊó£D ÇËÑÈ Í?ä{÷Š$$sù Îû Ï»t6Ïã ÇËÒÈ Í?ä{÷Š$#ur ÓÉL¨Zy_ ÇÌÉÈ

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. masuklah ke dalam syurga-Ku.(Al-Fajr : 27-30).

Rabiah telah membukakan jalan menuju ma’rifah Ilahi, sehingga ia menjadi teladan bagi orang-orang yang menuju jalan Allah, seperti Sofyan ats-Sauri, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar. Teladan yang ditinggalkan Rabiah masih terus hidup sepanjang masa bagi orang-orang yang menuju jalan Allah.[3]

Mahabbah

المحبّة :

أ‌) المبتداء : يتوالد ذلك من احسان الله تعالى اليهم وعطفه عليهم

ب‌) الخصوص : يتوالد من نظر القلب الى غناء الله وجلاله زعظمته وعلمه وقدرته وهو حبّ الصادقين والمتحققين

ت‌) الصادقين والعارفين : تولد من نظرهم ومعرفتهم بقديم حب الله تعالى بلا علة فكذ لك احبوه بلا علة

ث‌) المحبة : دخول صفات المحبوب على الحال من صفات المحبّ فهذا على معنى قوله :حتى احبه فإذا احببته كنت عينه التى يبصر بها وسمعه الذى يسمع به ويده التى يبطش بها

Mahabbah dimaksudkan di sini ialah mahabbatullah, cinta kepada Allah, sebagai kelanjutan daripada ma’rifah. Karena itulah maka setelah ma’rifah terhadap Allah yang membuahkan iman yang sebulat-bulatnya, setelah menyadari akan kemuliaan-Nya, kesempurnaan-Nya, keindahan-Nya dan kasih sayang-Nya, kemurahan-Nya serta sifat-sifat lain yang mengiring-Nya maka menjelmalah cinta kepada-Nya.

Mahabbah kepada Allah bukanlah sembarang cinta melainkan cinta yang menempati kedudukan yang tertinggi di atas segala cinta. Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab Fatawa, Mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah sebesar-besar kewajiban iman, cirinya orang yang beriman itu ialah terlebih cinta kepada Allah dibandingkan dengan cintanya kepada apapun dan siapapun[4]:

tûïÉ©9$#ur (#þqãZtB#uä x©r& ${6ãm °! ..... ÇÊÏÎÈ

Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah

Menurut Al-gozali,cinta kepada Tuhan itu adalah maqam yang terakhir dan derajat yang paling tinggi, segala maqam yang sesudahnya adalah buahnya dan segala maqam yang sebelumnya adalah hanya pendahuluan untuk mencapai mahabbah.[5]

Rasa cinta kepada Tuhan itu sudah bergerak dalam hati seorang salik ketika ia mulai mengenal dirinya. Menurut Al-Ghazali, itulah daya penggerak yang mendorong seseorang bertaubat dari segala dosanya. Menurut Al-Palimbani, makrifah yang hakiki itu lahir dari rasa cinta (mahabbah); tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu hanya lahir dari makrifah. Dengan demikian, mahabbah dan makrifah itu adalah dua hal yang masing-masing merupakan sebab tetapi juga adalah akibat dari yang lain. [6]



[1]Muhammad atiyyah khamis, penyair wanita sufi Rabiah al-adawiyyah, (jakarta: pustaka firdaus, 1991). H. 7-61

[2] Sufi wanita h. 89-90

[3] Rabiah 80-82

[4] Tingkat ketenangan dan kebahagiaan mu’min 183-184

[5] Mengenal Allah, h. 99

[6] Mengenal Allah 101