Umar bin Abdul Aziz dan Lilin Negara
8 Juni 2009 pukul 21:41 · Disimpan dalam . LIHAT SELURUH ARTIKEL, 4. Kisah Teladan, 4. Sahabat Rasululloh
Siapa yang tak kenal Umar bin Abdul Aziz. Sosok pemimpin adil, arif, lagi berilmu. Banyak kisah teladan yang beliau tinggalkan untuk para peniti kebenaran. Inilah kisah ringkasnya.
Suatu hari datanglah seorang utusan dari salah satu daerah kepada beliau. Utusan itu sampai di depan pintu Umar bin Abdul Aziz dalam keadaan malam menjelang. Setelah mengetuk pintu seorang penjaga menyambutnya.
Utusan itu pun mengatakan, “Beritahu Amirul Mukminin bahwa yang datang adalah utusan gubernurnya.” Penjaga itu masuk untuk memberitahu Umar yang hampir saja berangkat tidur. Umar pun duduk dan berkata, “Ijinkan dia masuk.”
Utusan itu masuk, dan Umar memerintahkan untuk menyalakan lilin yang besar. Umar bertanya kepada utusan tersebut tentang keadaan penduduk kota, dan kaum muslimin di sana, bagaimana perilaku gubernur, bagaimana harga-harga, bagaimana dengan anak-anak, orang-orang muhajirin dan anshar, para ibnu sabil, orang-orang miskin. Apakah hak mereka sudah ditunaikan?Apakah ada yang mengadukan?
Utusan itu pun menyampaikan segala yang diketahuinya tentang kota kepada Umar bin Abdul aziz. Tak ada sesuatu pun yang disembunyikannya.
Semua pertanyaan Umar dijawab lengkap oleh utusan itu. Ketika Semua pertanyaan Umar telah selesai dijawab semua, utusan itu balik bertanya kepada Umar.
“Ya Amirul Mukminin, bagaimana keadaanmu, dirimu, dan badanmu? Bagaimana keluargamu, seluruh pegawai dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabmu?
Tiba-tiba Umar dengan serta merta meniup lilin tersebut dan berkata, “Wahai pelayan, nyalakan lampu yang lain!” Lalu dinyalakannlah sebuah lampu kecil yang hampir-hampir tidak bisa menerangi ruangan karena cahayanya yang teramat kecil.
Umar melanjutkan perkataannya, “Sekarang bertanyalah apa yang kamu inginkan.” Utusan itu bertanya tentang keadaannya. Umar memberitahukan tentang keadaan dirinya, anak-anaknya, istri, dan keluarganya.
Rupanya utusan itu sangat tertarik dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh Umar, mematikan lilin. Dia bertanya, “Ya Amirul Mukminin, aku melihatmu melakukan sesuatu yang belum pernah Anda lakukan.” Umar menimpali, “Apa itu?”
“Engkau mematikan lilin ketika aku menanyakan tentang keadaanmu dan keluargamu.”
Umar berkata, “Wahai hamba Allah, lilin yang kumatikan itu adalah harta Allah, harta kaum muslimin. Ketika aku bertanya kepadamu tentang urusan mereka maka lilin itu dinyalakan demi kemaslahatan mereka. Begitu kamu memmebelokkan pembicaraan tentang keluarga dan keadaanku, maka aku pun mematikan lilin milik kaum muslimin.”
Senin, 28 Oktober 2013
PENGETAHUAN DAN UKURAN KEBENARAN (MAT KUL FILSAFAT ILMU)
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu ciri khas manusia adalah sifatnya yang
selalu ingin tahu tentang sesuatu hal. Rasa ingin tahu ini tidak terbatas yang
ada pada dirinya, juga ingin tahu tentang lingkungan sekitar, bahkan sekarang
ini rasa ingin tahu berkembang ke arah
dunia luar. Rasa ingin tahu ini tidak
dibatasi oleh peradaban. Semua umat manusia di dunia ini punya rasa ingin tahu
walaupun variasinya berbeda-beda. Orang yang tinggal di tempat peradaban yang
masih terbelakang, punya rasa ingin yang berbeda dibandingkan dengan orang yang
tinggal di tempat yang sudah maju.
Rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang
terjadi di alam sekitarnya dapat bersifat sederhana dan juga dapat bersifat
kompleks. Rasa ingin tahu yang bersifat sederhana didasari dengan rasa ingin
tahu tentang apa (ontologi),
sedangkan rasa ingin tahu yang bersifat kompleks meliputi bagaimana peristiwa
tersebut dapat terjadi dan mengapa peristiwa itu terjadi (epistemologi), serta untuk apa peristiwa tersebut dipelajari
(aksiologi).
Ke tiga landasan tadi yaitu ontologi, epistemologi
dan aksiologi merupakan ciri spesifik dalam penyusunan pengetahuan. Ketiga
landasan ini saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan antara
satu dengan lainnya. Berbagai usaha orang untuk dapat mencapai atau memecahkan
peristiwa yang terjadi di alam atau lingkungan sekitarnya. Bila usaha tersebut
berhasil dicapai, maka diperoleh apa yang kita katakan sebagai ketahuan atau
pengetahuan.
Awalnya bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia
beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para Dewa.
Karenanya para Dewa harus dihormati dan sekaligus ditakuti kemudian disembah.
Adanya perkembangan jaman, maka dalam beberapa hal pola pikir tergantung pada
Dewa berubah menjadi pola pikir berdasarkan rasio. Kejadian alam, seperti
gerhana tidak lagi dianggap sebagai bulan dimakan Kala Rau, tetapi merupakan
kejadian alam yang disebabkan oleh matahari, bulan dan bumi berada pada garis
yang sejajar. Sehingga bayang-bayang bulan menimpa sebagian permukaan bumi.
Perubahan pola pikir dari mitosentris ke logosentris
membawa implikasi yang sangat besar. Alam dengan segala-galanya, yang selama
ini ditakuti kemudian didekati dan bahkan dieksploitasi. Perubahan yang
mendasar adalah ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang
menjelaskan perubahan yang terjadi, baik di jagat raya (makrokosmos) maupun
alam manusia (mikrokosmos). Melalui pendekatan logosentris ini muncullah
berbagai pengetahuan yang sangat berguna
bagi umat manusia maupun alam.
Pengetahuan tersebut merupakan hasil dari proses
kehidupan manusia menjadi tahu. Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh
manusia atau hasil pekerjaan manusia menjadi tahu. Pengetahuan itu merupakan
milik atau isi pikiran manusia yang merupakan hasil dari proses usaha manusia
untuk tahu.
Berdasarkan atas pengertian yang ada dan berdasarkan
atas kebiasaan yang terjadi, sering ditemukan kerancuan antara pengertian ilmu
dengan pengetahuan. Ke dua kata tersebut dianggap memiliki persamaan arti,
bahkan ilmu dan pengetahuan terkadang dirangkum
menjadi satu kata majemuk yang mengandung arti tersendiri. Hal ini sering kita
jumpai dalam berbagai karangan yang membicarakan tentang ilmu pengetahuan.
Bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu disamakan dengan pengetahuan,
sehingga ilmu adalah pengetahuan. Namun jika kata pengetahuan dan kata ilmu
tidak dirangkum menjadi satu kata majemuk atau berdiri sendiri, akan tampak
perbedaan antara keduanya. Berdasarkan asal katanya, pengetahuan diambil dari
kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Sedangkan pengetahuan berasal dari kata Science. Tentunya dari dua asal kata itu
mempunyai makna yang berbeda.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengetahuan dan Ukuran Kebenaran
A.
Pengertian
Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal
dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge, dalam ensiklopedi psikologi
dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar. Sedangkan
secara terminology akan dikemukakan beberapa definisi tentang pengetahuan.
Menurut Sidi Gazalba, yang dikutip oleh Amsal bakhtiar dalam bukunya yang
berjudul filsafat ilmu, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil
pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu itu adalah hasil dari kenal, sadar, insaf,
mengerti dan pandai, dan Pengetahuan itu
adalah semua milik atau isi pikiran.
Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa
pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari
kesadarannya sendiri. Lebih lanjut lagi
dijelaskan bahwa pengetahuan dalam arti luas berarti semua kehadiran objek
(yang diketahui) dalam dalam subjek (yang mengetahui). Namun dalam arti sempit
dan berbeda dengan imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya berarti
putusan yang benar dan pasti (kebenaran dan kepastiannya). Pada umumnya, adalah
tepat kalau mengatakan pengetahuan hanya merupakan pengalaman “sadar”. Karena
sangat sulit melihat bagaimana persisnya suatu pribadi dapat sadar akan
sesuatu.
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam
bahasa Inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia
of Philosophy dijelaskan bahwa difinisi pengetahuan adalah kepercayaan yang
benar (knowledge is justified true belief).
Sedangkan secara terminologi definisi pengetahuan
ada beberapa definisi.
1.
Pengetahuan
adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari
kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai.
Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian
pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
2.
Pengetahuan
adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari
kesadarannya sendiri. Dalam hal ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang
diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang
mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan
aktif.
3.
Pengetahuan
adalah segenap apa yang kita ketahui tentang
suatu objek tertentu, termasuk didalamnya ilmu, seni dan agama.
Pengetahuan ini merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung dan tak
langsung memperkaya kehidupan kita.
Pada dasarnya pengetahuan merupakan hasil tahu
manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu
objek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud barang-barang baik lewat indera
maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal,
atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan.
Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang
belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan
pengetahuan adalah informasi yang berupa common
sense, tanpa memiliki metode, dan
mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi
kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan
kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena
kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan
pengalaman belaka (Supriyanto, 2003).
Ruang Lingkup pengetahuan secara ontologi,
epistomologi dan aksiologi ada tiga yaitu Ilmu, Agama dan Seni pada skema
berikut :
Ilmu
Pada prinsipnya ilmu merupakan usaha untuk
mengorganisir dan mensitematisasikan sesuatu. Sesuatu tersebut dapat diperoleh
dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun sesuatu itu
dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan
berbagai metode.
Ilmu dapat merupakan suatu metode berfikir secara
objektif (objective thinking), tujuannya
untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Ini diperoleh
melalui observasi, eksperimen, dan klasifikasi. Analisisnya merupakan hal yang
objektif dengan menyampingkan unsur pribadi, mengedepankan pemikiran logika,
netral (tidak dipengaruhi oleh kedirian atau subjektif). Ilmu sebagai milik
manusia secara komprehensif yang merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap
dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh
jangkauan logika dan dapat diamati panca indera manusia.
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun bukan
sebaliknya kumpulan ilmu adalah pengetahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat
dikatakan ilmu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang
dimaksudkan adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang ilmu baik itu
ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memenuhi ke dua objek tersebut. Ilmu
merupakan suatu bentuk aktiva yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh
suatu lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan
kemudian serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya.
Ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat
diuji oleh panca indera manusia. Jadi masih dalam jangkauan pengalaman manusia
atau bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti
ide-ide, nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.
Pada umumnya metodologi yang digunakan dalam ilmu
kealaman disebut siklus-empirik. Ini menunjukkan pada dua macam hal yang pokok,
yaitu siklus yang mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan
berulang-ulang, dan empirik yang menunjukkan pada sifat bahan yang diselidiki,
yaitu hal-hal yang dalam tingkatan pertama dapat diregistrasi secara indrawi.
Metode siklus-empirik mencakup lima tahapan yang disebut observasi, induksi,
deduksi, eksperimen, dan evaluasi. Sifat ilmiahnya terletak pada kelangsungan
proses yang runut dari segenap tahapan prosedur ilmiah tersebut, meskipun pada
prakteknya tahap-tahap kerja tersebut sering kali dilakukan secara bersamaan
(Soeprapto, 2003).
Ilmu dalam usahanya untuk menyingkap rahasia-rahasia
alam haruslah mengetahui anggapan-anggapan kefilsafatan mengenai alam tersebut.
Penegasan ilmu diletakkan pada tolok ukur dari sisi fenomenal dan struktural.
Dimensi
Fenomenal.
Dalam
dimensi fenomenal ilmu menampakkan diri pada hal-hal berikut :
1.
Masyarakat
yaitu suatu masyarakat yang elit yang dalam hidup kesehariannya sangat konsern
pada kaidah-kaidah universaI, komunalisme, disinterestedness, dan skeptisme
yang terarah dan teratur
2.
Proses
yaitu olah krida aktivitas masyarakat elit yang melalui refleksi, kontemplasi,
imajinasi, observasi, eksperimentasi, komparasi, dan sebagainya tidak pernah
mengenal titik henti untuk mencari dan menemukan kebenaran ilmiah.
3.
Produk
yaitu hasil dari aktivitas tadi berupa dalil-dalil, teori, dan
paradigma-paradigma beserta hasil penerapannya, baik yang bersifat fisik,
maupun non fisik.
Dimensi Struktural
Dalam dimensi struktural ilmu tersusun atas
komponen-komponen berikut
- Objek sasaran yang ingin diketahui
- Objek sasaran terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti
- Ada alasan dan dengan sarana dan cara tertentu objek sasaran tadi terus menerus dipertanyakan
- Temuan-temuan yang diperoleh selangkah demi selangkah disusun kembali dalam satu kesatuan sistem.
Ilmu dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu Ilmu
Pengetahuan Abstrak, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Humanis.
Secara rinci seperti skema di bawah ini.
Berdasarkan skema di atas terlihat bahwa ilmu
melingkupi tiga bidang pokok yaitu ilmu pengetahuan abstrak, ilmu pengetahuan
alam dan ilmu pengetahuan humanis. Ilmu pengetahuan abstrak meliputi
metafisika, logika, dan matematika. Ilmu pengetahuan alam meliputi Fisika,
kimia, biologi, kedokteran, geografi, dan lain sebagainya. Ilmu pengetahuan
humanis meliputi psikologi, sosiologi, antropologi, hukum dan lain sebagainya.
B.
Kriteria Pengetahuan
B.1 Kriteria pengetahuan
Berbicara kriteria berarti berbicara jenis
pengetahuan, maka akan kami bahas tentang jenis pengetahuan itu sendiri.
Pertama, pengetahuan biasa yakni pengetahuan yang dalam
filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering diartikan dengan
good sense, karena seeorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik.
Kedua, pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan
dari science. Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan
mensistematisasikan commen sense, suatu pengetahuan yang berasal dari
pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dilanjutkan
dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai
metode.
Ketiga, pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang
diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif.
Keempat, pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya
diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya.
B. 2 Sumber pengetahuan
Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang dari
mana pengetahuan itu diperoleh, yaitu:
1.
Empirisme
Faham ini menganggap bahwa manusia
memperoleh pengetahuan dari hasil pengalaman inderawinya, sedangkan akal hanya berperan pasif menerima
informasi dari hasil tangkapan indera, sebagai contoh, seseorang dapat mengetahui
tentang rasa dingin yang ditimbulkan oleh es adalah dengan menyentuhnya dengan
indera peraba.
Jhon locke, sebagai bapak empiris
mengemukakan teori Tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah
bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya
lah yang memngisi jiwa yang kosong itu, sehingga ia memiliki pengetahuan. David
Hume, salah satu tokoh empirsme mengatakan bahwa manusia tidak membawa
pengetahuan bawaan dalam hidupnya, sumber pengetahuan adalah pengamatan, dan
pengamatan akan memberikan kesan-kesan (pengamatan langsung dari pengalaman)
dan pengertian-pengertian atau ide-ide.
2.
Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah
dasar kepastian pengetahuan. Pengalaman indra hanya merangsang akal dan
memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sampainya
manusia pada kebenaran adalah semata-mata karena akal. Laporan indrawi
merupakan bahan yang masih belum jelas, akal mengolah bahan tersebut sehingga
dapat terbentuk pengetahuan yang benar.[1]
3.
Intuisi
Dalam
tasawuf, intuisi ini disebut dengan makrifah, yaitu pengetahuan yang datang
dari Tuhan melalui pencerahan dan penilaian. Istilah ini juga sering disebut
dengan iluminasi. Intuisi dalam filsafat Barat diperoleh lewat usaha perenungan
dan pemikiran yang konsisten, sedangkan dalam islam makrifat diperoleh lewat
perenungan dan penyinaran dari Tuhan.[2]
4.
Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan Allah pada
manusia lewat perantara para Nabi. Pengetahuan dengan jalan ini merupakan
kekhususan para Nabi.
C.
Ilmu
Pengetahuan
C.1.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan
ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa
filsafat merupakan induk atau ibu dari semua ilmu (mater scientiarum). Karena
objek material filsafat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, pada hal
ilmu-ilmu membutuhkan objek khusus. Hal
ini menyebabkan berpisahnya ilmu dari filsafat.
Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu
memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan
ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap
ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu.
Dengan kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu
yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-masing
ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu
pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang luas.
Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan
filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan
ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu
dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa
fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat
sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah (Siswomihardjo, 2003).
Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja
dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari
ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak
mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral. Contohnya filsafat agama, filsafat hukum,
dan filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi
sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Dalam konteks inilah kemudian
ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami (Bakhtiar,
2005).
C.2. Definisi ilmu pengetahuan
Membicarakan masalah ilmu pengetahuan beserta
definisinya ternyata tidak semudah dengan yang diperkirakan. Adanya berbagai
definisi tentang ilmu pengetahuan ternyata belum dapat menolong untuk memahami
hakikat ilmu pengetahuan itu. Sekarang orang lebih berkepentingan dengan
mengadakan penggolongan (klasifikasi) sehingga garis demarkasi antara (cabang)
ilmu yang satu dengan yang lainnya menjadi lebih diperhatikan.
Pengertian ilmu yang
terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang
yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan
untuk menerangkan gejala-gejala tertentu (Admojo, 1998). Mulyadhi Kartanegara
mengatakan ilmu adalah any organized
knowledge. Ilmu dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad
ke-19, tetapi setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau
inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang non fisik, seperti
metafisika.
Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli
seperti yang dikutip oleh Bakhtiar tahun 2005 diantaranya adalah :
- Mohamad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
- Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan ke empatnya serentak.
- Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
- Ashley Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
- Harsojo menerangkan bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia. Lebih lanjut ilmu didefinisikan sebagai suatu cara menganalisis yang mengijinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk : “ jika .... maka “.
- Afanasyef, menyatakan ilmu adalah manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, katagori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.
·
Berdasarkan
definisi di atas terlihat jelas ada hal prinsip yang berbeda antara ilmu dengan
pengetahuan. Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun,
baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah
informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu.
Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan
pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat
cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan
ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan
pengalaman belaka (Supriyanto, 2003).
·
Pembuktian
kebenaran pengetahuan berdasarkan penalaran akal atau rasional atau menggunakan
logika deduktif. Premis dan proposisi sebelumnya menjadi acuan berpikir
rasionalisme. Kelemahan logika deduktif ini sering pengetahuan yang diperoleh
tidak sesuai dengan fakta.
·
Secara
lebih jelas ilmu seperti sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong
ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi. Sedangkan
pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar,
dan tempat lainnya yang belum tersusun dengan baik.
Sepanjang sejarah
manusia untuk memahami dunia sekitarnya mengenal dua sarana, yaitu pengetahuan
ilmiah (scientific knowledge) dan penjelasan gaib (mystical explaination).
Menurut the Liang Gie 1987 hubungan
antara pengetahuan ilmiah dengan penjelasan gaib dan persoalan ilmiah
adalah sebagai berikut:
1.
Pengetahuan
ilmiah merupakan kumpulan hipotesis yang telah terbukti sah
2.
Persoalan
ilmiah merupakan kumpulan hipotesis yang dapat diuji tetapi belum dibuktikan
sah
3.
Penjelasan
gaib merupakan kumpulan hipotesis yang tidak dapat diuji sahnya
Para
ilmuwan mencurahkan tenaga dan waktunya pada persoalan kedua agar pengetahuan
ilmiah makin bertambah. Oleh karena itu, terbukti ada hubungan erat antara ilmu
dengan penelitian karena untuk melahirkan ilmu pengetahuan mesti diadakan
penelitian.
Adapun
definisi ilmu pengetahuan adalah diambil dari kata bahasa Inggris science,
yang berasal dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang
berarti mempelajari, mengetahui.
The
Liang Gie (1987) memberikan pengetahuan ilmu adalah rangkaian aktivitas
penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman
secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan
keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin
dimengerti manusia.[3]
C.3. Ciri-ciri Ilmu
Pengetahuan
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut The
Liang Gie (1987), mempunyai 5 ciri pokok:
1.
Empiris,
pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan.
2.
Sistematis,
berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu
mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur.
3.
Objektif,
ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan
pribadi.
4.
Analitis,
pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya kedalam bagian yang
terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari
bagian-bagian itu.
5.
Verifikatif,
dapat diperiksa kebenarannya oleh siapa pun.
D.
Kriteria
Kebenaran
Berpikir
merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang
disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu,
kegiatan berpikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu
atau criteria kebenenaran. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama criteria
kebenarannya, karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda.
Secara
umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan itu adalah untuk mencapai kebenaran,
namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja, problem kebenaran inilah yang
memacu tumbuh dan berkembangnya epistimologi (teori tentang hakikat dan ruang
lingkup pengetahuan). Telaah epistimologi terhadap kebenaran, membawa orang
kepada suatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran,
yaitu kebenaran epistimologis, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantic.
Kebenaran epistimologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan
manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar
yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran
dalam arti semantic adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur
kata dan bahasa.
Dalam
studi Filsafat Ilmu, pandangan tentang suatu ‘kebenaran’ itu
sangat tergantung dari sudut pandang filosofis dan teoritis yang dijadikan
pijakannya. Ada tujuh teori kebenaran yang paralel dengan teori
pengetahuan yang dibangunnya, yaitu:
1.
Teori
Korespondensi (Bertand Russel 1872-1970)
Teori ini menganggap. Teori kebenaran korespondensi
adalah “teori kebenaran yang menyatakan
bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung dalam
pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh
pernyataan tersebut.” [4]
Maksudnya jika ada yang mengatakan bahwa “gedung
FITK UIN SYAHID Jakarta itu berlantai 7,” maka pernyataan itu benar karena
memang secara factual FITK memiliki 7 lantai.
Teori kebenaran
Korespondensi. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang
paling awal (tua) yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles, teori ini
menganggap bawa “suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan
itu mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan (realitas empirik) yang
diketahuinya”, Contoh, ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Menurut
teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian
(correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat
dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan
demikian kebenaran epistimologis adalah kemanunggalan/keselarasan antara
pengetahuan yang ada pada subjek dengan apa yang ada pada objek, atau
pernyataan yang sesuai dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang
sesuai dengan situasi actual.
Teori
korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme.diantara
pelopor teori ini adalah Plato,
Aristoteles, Moore, russel, Ramsey dan Tarski. Mengenai teori korenspondensi
tentang kebenaran, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Kebenaran adalah
kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan itu sendiri.
2.
Teori Koherensi tentang kebenaran
(konsistensi)
Teori
kebenaran Koherensi. Tokoh teori ini
adalah Spinosa, Hegel dan Bradley. Suatu pengetahuan dianggap benar menurut
teori ini adalah “bila suatu proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide
dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar”. Jadi, kebenaran dari
pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau melalui
pembuktian logis atau matematis. Pada umumnya ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu
sosial, ilmu logika, menuntut kebenaran koherensi.
Menurut
teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan fakta
atau realita, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri, dengan
kata lain kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan
putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kebenarannya terlebih
dahulu.
Teori ini menganggap bahwa“Suatu
pernyataan dapat dikatakan benar apabila pernyataan itu bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang di anggap benar. “[5]
Misalnya bila kita menganggap bahwa pernyataan “semua hewan akan mati” adalah
suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan “bahwa ayam adalah hewan, dan ayam akan mati” adalah benar pula, sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Jadi menurut teori ini, “putusan yang satu dengan putusan yang
lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain. Maka lahirlah
rumusan kebenaran adalah konsistensi, kecocokan.”[6]
3.
Teori
Pragmatis (Charles S 1839-1914)
Teori kebenaran Pragmatis.
Tokohnya adalah William James dan John Dewey. Suatu pengetahuan atau proposisi
dianggap benar menurut teori ini adalah “bila proposisi itu mempunyai
konsekwensi-konsekwensi praktis (ada manfaat secara praktis) seperti yang
terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri”, maka menurut teori ini,
tidak ada kebenaran mutlak, universal, bediri sendiri dan tetap. Kebenaran
selalu berubah dan tergantung serta dapat diroreksi oleh pengamalan berikutnya.
Untuk pertama kalinya teori ini tertuang
dalam dalam sebuah makalah tahun 1878 yang berjudul “ How To Make Our Ideas
Clear”, lalu kemudian di kembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan
orang berkebangsaan Amerika, dan
menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli filsafat
ini antara lain William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), Geore
Herbart Mead (1863-1931). “Kebanaran bagi aliran ini diukur dengan apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak?.”[7]
Jika
seseorang menyatakan teori x dalam pendidikan, lalu dari teori itu dikembangkan
teori Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X dianggap benar
karena fungsional.
Pragmatism berasal dari bahasa Yunani
Pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, dan tindakan.
Menurut teori ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata
bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat
dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat bagi kehidupan
manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia mambawa kepada akibat
yang memuaskan, apabila ia berlaku pada praktek, apabila ia mempunyai nilai
praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya dan oleh
akibat-akibat praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
4.
Teori Kebenaran Sintaksis
Teori Kebenaran Sintaksis.
Teori ini berkembang diantara para filsuf analisa bahasa, seperti Friederich
Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan itu mengikuti aturan sintaksis (gramatika) yang baku’.
5.
Teori Kebenaran Semantis
Teori kebenaran Semantis. Menurut teori kebenaran
semantik, suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau
makna. Apakah proposisi itu pangkal tumpuannya pengacu (referent) yang
jelas?. Jadi, memiliki arti maksudnya menunjuk pada referensi atau kenyataan,
juga memiliki arti yang bersifat definitif.
6. Teori
Kebenaran Non- Deskripsi
Teori
Kebenaran Non-Deskripsi. Teori ini
dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Jadi, menurut teori ini
suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar ditentukan
(tergantung) peran dan fungsi pernyataan itu (mempunyai fungsi yang amat
praktis dalam kehidupan sehari-hari).
7. Teori
Kebenaran Logik
Teori
Kebenaran Logik. Teori ini dikembangkan oleh kaum
positivistik. Menurut teori ini, bahwa problema kebenaran hanya merupakan
kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena
pada dasarnya apa—pernyataan—yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki
derajat logik yang sama yang masing-masing saling melingkupinya.
8.
Agama
sebagai teori kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, salah satu
cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan
karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang
dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia maupun tentang tuhan. Kalau
ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio, dan
reason manusia, maka dalam teori ini lebih mengedepankan wahyu yang bersumber
dari tuhan.
Penalaran dalam mencapai ilmu
pengetahuan yang benar dengan berfikir setelah melakukan penyelidikan dan
pengalaman. Sedangkan manusia mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam
agama dengan jalan mempertanyakan atau mencari jawaban tentang masalah asasi
dari atau kepada kitab suci, dengan demikian suatu hal itu dianggap benar
apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.
BAB III
KESIMPULAN
Menurut
Sidi Gazalba, yang dikutip oleh Amsal bakhtiar dalam bukunya yang berjudul
filsafat ilmu, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu.
Pekerjaan tahu itu adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai,
dan Pengetahuan itu adalah semua milik
atau isi pikiran.
Jenis-jenis
Pengetahuan: Pengetahuan Biasa, Pengetahuan Ilmu, Pengetahuan Filsafat dan
Pengetahuan Agama.
Sumber Pengetahuan: Empirisme,
Rasionalisme, Intuisi dan Wahyu.
Ilmu
pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang berasal dari
bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti
mempelajari, mengetahui.
Ciri-ciri Ilmu
Pengetahuan : Empiris, Sistematis, Objektif, Analitis dan Verifikatif.
Teori
yang menjelasakan kebenaran epistimologis adalah:
a.
Teori
koherensi (teori kebenaran saling berhubungan),
b.
Teori
korespondensi (teori kebenaran saling berkesesuaian), dan
c.
Teori
pragmatism (teori kebenaran konsekuensi kegunaan)
Cara untuk menemukan suatu kebenaran
adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban
atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam,
manusia maupun tentang tuhan.
Langganan:
Postingan (Atom)