Selasa, 13 Oktober 2009

INSTITUSIONALISASI PENDIDIKAN

  1. INSTITUSIONALISASI PENDIDIKAN

A. Tujuan Pendidikan

Pada masa Nabi Saw. Masa Kholifah-kholifah Rasyidin dan Umaiyah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata-mata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharapkan keridhoannya, lainnya tidak. Pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Tujuan keagamaan dan akhlaq, seperti pada masa sebelumnya. Anak-anak didik dan diajar membaca/menghafal Al-qur’an , ialah karena hal itu satu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut ajaran agama dan berakhlaq menurut agama. Begitu juga mereka diajar ilmu tafsir, hadist dan sebagainya adalah karena tuntutan agama, lain tidak.
  2. Tujuan kemasyarakatan. Selain tujuan keagamaan dan akhlaq ada pula tujuan kemasyarakatan, yaitu pemuda-pemuda belajar dan menuntut ilmu, supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh kejahilan menjadi masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menjadi masyarakat yang maju dan makmur.

Ilmu-ilmu yang diajarkan dimadrasah-madrasah, bukan saja ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, bahkan juga diajarkan ilmu-ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.

  1. selain itu ada lagi tujuan pendidikan, ialah cinta akan ilmu pengetahuan serta senang dan lazat mencapai ilmu itu. Mereka belajar tak mengharapkan keuntungan apa-apa, selain dari pada berdalam-dalam dalam ilmu pengetahuan. Mereka melawat ke seluruh negara Islam. Untuk menuntut ilmu, tanpa memperdulikan susah-payah dalam perjalanan, umumnya dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka lain tidak untuk memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan
  2. di samping itu ada pula tujuan pendidikan sebagian kaum muslim, yaitu tujuan kebendaan. Mereka menuntut ilmu, supaya mendapat penghidupan yang layak, dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau mungkin mendapat kemegahan dan kekuasaan didunia ini, seperti setengah orang pada masa kita sekarang.

Ibnu Sina dengan tegas mengatakan, “supaya anak sesudah tamat sekolah rendah. Hendaklah dipimpin ke arah perusahaan yang sesuai dengan bakat dan kecerdasannya”. Hal itu membuktikan, bahwa tujuan pendidikan ialah supaya dapat berusaha mencari penghidupan. Bahkan ada orang mencari kekayaan dengan mempelajari ilmu kimiah, yaitu membuat emas dari benda yang bukan emas.

Seorang ulama, An-namiry Al-Quthuby (463 H. = 1071 M). menerangkan, “ macam-macam tujuan pendidikan itu dengan satu kalima, katanya : tuntutlah ilmu, karena ilmu itu menjadi penolong dalam agama (tujuan keagamaan)”. Menajamkan otak (tujuan ilmiah). Teman ketika sendirian (kemasyarakatan), berfaedah dalam majelis-majelis (kemasyarakatan) dan menarik harta-benda (tujuan kebendaan).

Demikianlah macam-macam tujuan pendidikan pada masa abbasiyah.

B. TINGKAT-TINGKAT PENGAJARAN

Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari atas beberapa tingkat :

  1. Tingkat sekolah rendah, namanya kuttab jamak katatib), untuk tempat belajar anak-anak. Di samping kuttab ada pula anak-anak belajar dirumah, di istana, ditoko-toko dan dipinggir-pinggir pasar.
  2. Tingkat sekolah menengah,yaitu di mesjid dan di majelis sastera dan ilmu pengetahuan, sebagai sambungan pelajaran di kuttab
  3. Tingkat perguruan tinggi, seperti baitul hikmah di Baghdad dan Darul ilmu di Mesir (Kairo), di mesjid-mesjid dan lain-lain.

C. LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM ERA AWAL

Sistem dan metode yang digunakan Rosul SAW. mengalami perkembangan pada saat ini sehingga menjadi kajian dari berbagai kalangan intelektual baik Islam maupun non muslim. Bentuk-bentuk dari berbagai lembaga Islam yang digunakan Rosul, Sahabat,tabi-tabi’in sampai pada masa mutaakhirin seperti rumah, kuttab, masjid, saloon dan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang dikenal pada priode awal. [1]

1. RUMAH

Lembaga pendidikan islam ini muncul dari pemikiran-pemikiran yang selaras dengan kebutuhan masyarakat, disadari digerakan dan di kembangkan oleh Al-qur’an dan sunah. Karena itu, lembaga pendidikan Islam bukanlah suatu yang datang dari luar, tetapi tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan ajaran agama Islam telah mengenal lembaga pendidikan saja detik-detik awal turunnya wahyu kepada nabi Muhammad SAW. Rumah Al- Arqam Ibn Abi al-Arqam merupakan lembaga pendidikan yang pertama.[2]

Wahyu diturunka Allah kepada nabi Muhammad SAW. nabi mengambil rumah Al bin Abi Arqam sebagaai tempatnya, disamping menyampaikan ceramah pada berbagai tempat. Atas dasar inilah arqam dapat di katakan rumah Arqam sebagai lembaga pendidikan yang pertama dalam Islam. Hal ini berlangsung sekitar 13 tahun. Namun sistem lembaga pendidikan masih bersifat halaqoh dan belum memilki kurikulum dan silabus seperti seperti sekarang. Sedangkan sistem dan materi-materi pendidikan yang akan langsung di sampaikan oleh nabi Muhammad SAW.[3]

Dengan di jadikannya oleh Rasullullah Muhammad SAW. rumah Al-Arqam ibn Al-Arqam sebagai tempat berkumpul para sahabat dalam penyampaian wahyu yang di terima dari Allah melalu malaikat jibril as., ini membuktikan bahwa rumah adalah lembaga pendidikan pertama dalam Islam. Di sisi lain rumah memang merupakan lembaga awal dalam pembinaan yang di lakukan oleh kedua orang tua, tuk menggembleng putra dan putrinya menjadi seorang yang beradab, berakhlak mulia.

2. SEKOLAH-SEKOLAH RENDAH (KUTTAB)

Adanya lembaga pendidikan rendah yaitu kuttab. Kebanyakan para ahli sejarah pendidikan islam sepakat bahwa pendidikan islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian meningkat pada pengajaran Al-Qur’an dan pengetahuan agama dasar[4]. Di masa nabi, karena perkembangan umat Islam yang semakin banyak belajar agama, termasuk anak-anak yang di kawatirkan mengotori masjid, maka muncullah lembaga pendidikan di samping masjid dengan sebutan al- Kuttab. Lembaga ini sebagai media utama untuk mengajarkan membaca dan menulis Al- Qur’an kepada Anak-anak sampai pada era Khulafaur rasyidin.[5]

Pada masa awal islam sampai era khulafaur rasyidin, secara umum dilakukan tanpa ada bayaran, karena kondisi waktu itu masih belum stabil. Namun pada masa bani Umayyah ada penguasa yang menggaji guru untuk mengajar putra dan putrinya dan menyediakan tempat bagi pelaksanaan proses mengajar di istana.

Kuttab ada 2 bentuk:

a. Kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan pada baca tulis.

b. Kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang mengajarkan Al- Qur’an dan dasar- dasar keagamaan.

Pada permulaan masa Abbasiyah (atau Abad yang kedua Hijriah) dan abad-abad kemudiannya, bertambah banyak bilangan kuttab dan guru-guru yanh mengajar anak-anak. Pada tiap-tiap desa ada satu kuttab, bahkan ada yang lebih dari satu kuttab, di satu kota Balram di Shigillah (sicillia)ada kurang lebih 300 oang guru kuttab. Pada kuttab Abul. Qasim Al-Balkhl ada kurang lebih 3.000 orang murid-murid. Hal itu membuktikan, bahwa kuttab, guru-gurunya dan murid-muridnya amat banyak.

Kuttab biasanya diadakan di luar masjid, tetapi kadang-kadang diadakan pula dalam mesjid, karena kekurangan tempat diluar masjid.

Berkata Iman Malik : kuttab itu tidak baik dalam mesjid, karena anak-anak, kadang-kadang membawa kotoran (najis) masuk mesjid.

Berkata Imam Syafi’I :

“Saya seorang anak yatim dalam pemeliharaan ibuku, lalu ibuku memasukkan daku dalam kuttab. Setelah saya menamatkan Al-Qur’an, lalu Saya Masuk mesjid”.

Hal ini membuktikan, bahwa kuttab itu diadakan di luar mesjid. Begitu juga kuttab Abul-Qasimtadi adalah di luar mesjid. Meskipun begitu ada juga guru-guru yang mengajar anak-anak di penjuru-penjuru mesjid atau di bilik-bilik yang berhubungan dengan mesjid.

a) Rencana pengajaran kuttab (tingkat rendah)

Rencana pengajaran Kuttab umumnya sebagai berikut :

  1. Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya.
  2. pokok-pokok agama Islam, seperti cara brwudhu, sembahyang, puasa, dan sebagainya
  3. menulis\
  4. kisah (riwayat)orang-orang besar Islam.
  5. membaca dan menghafal syair-syair atau Natsar-Natsar (proza)
  6. berhitung
  7. pokok-pokok Nahu dan Syaraf ala kadarnya.

Demikianlah rencana pengajaran kuttab umumnya. Tetapi rencana pengajaran kuttab umumnya. Tetapi rencana pengajaran itu tidak sama di seluruh negara Islam. Bahkan berlain-lain pada beberapa wilayah. Di Magrib (Maroko) hanya di ajarkan kepada anak-anak Al-Qur’an saja, serta dipentingkan tulisannya. Dan tiada dicampurkan dengan lain-lain, seperti hadist, fiqh, syair atau natsar. Di Andalusia diajarkan Al-Qur’an dan menulis,serta dicampurkan dengan syair, natsar, pokok-pokok Nahu dan Syaraf dan tulisan indah. Di Afriqiah (tunisia), dicampurkan pelajaran Al-Qur’an dengan hadist dan pokok-pokok ilmu Agama, tetapi menghafal al-Qur’an amat dipentingakan. Di timur (irak dan kelilingnya) dipentingkan pelajaran Al-Qur’an dan bermacam-macam Ilmu, serta qaidah-qaidahnya. Tetapi tidak dipentingkan tulisannya indah pada kuttab, hanya cukup tulisan bersahaja.

Menurut keterangan Al-Qur’an, Bahwa mata pelajaran pada kuttab-kuttab terdiri dari dua macam :

  1. Mata pelajaran wajib
  2. Mata pelajaran tidak wajib (ikhtiarih)

* Mata pelajaran wajib adalah :

  1. Al-Qur’an
  2. sembahyang
  3. Do’a
  4. Sedikit Ilmu Nahu dan Bahasa Arab
  5. Membaca dan Menulis.

* Mata pelajaran ikhtiarih adalah

  1. Berhitung
  2. Semua ilmu Nahu dan bahasa Arab
  3. Sya’ir
  4. Riwayat/tarikh Arab.

Demikianlah rencana pelajaran kuttab-kuttab di tunisia di abad keempat hijriah. Begitu pula di abad ketiga Hijriah menurut keterangan Ibnu Sahnun. Pendeknya rencana pelajaran seperti tersebut itu umum dilakukan di kuttab-kuttab seluruh negara.

3. MASJID

Kata masjid berasal dari kata bahasa Arab, sajada (fiil madi) masaajid/ sajdan (masdar), artinya tempat sujud. Dalam pengertian lebih luas berarti tempat sholat dan bermunajad kepada Allah SWT. Sang pencipta kholid dan tempat merenung dan menata masa depan (dzikir). Dari perenungan terhadap penciptaan Allah SWT. Masjid berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan.[6]

Proses yang mengantar masjid sebagai pusat dan pengetahuan adalah karena di masjid tempat awal pertama mempelajari ilmu agama yang baru lahir dan mengenal dasar-dasar, hukum-hukum, dan tujuan-tujuannya. Masjid yang pertama kali di bangun adalah masjid Quba, yaitu setelah Nabi SAW. hijrah ke Madinah[7]. Seluruh kegiatan umat di fokuskan di masjid termasuk pendidikan. Majelis pendidikan yang dilakukan Rosulullah bersama sahabat di masjid dilakukan dengan sistem halaqoh. Sebagai lembaga pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai sarana informasi dan penyampaian doktrin ajaran Islam. [8]

Semenjak berdirinya masjid pada zaman Nabi SAW. Masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan dan sosial ekonomi. Namun yang lebih penting sebagai lembaga pendidikan, dalam perkembangannya kemudian, dikalangan umat Islam tumbuh semangat untuk menuntut ilmu dan memotivasi ke mereka mengantar anak-anaknya memperoleh pendidikan di masjid sebagai lembaga pendidikan menengah setelah kuttab.

Perkembangan masjid sangat signifikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Hal ini menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi dua bentuk, yaitu masjid tempat sholat Jum'at atau jam’i dan masjid biasa. Masjid Jam’i maupun masjid biasa, keduanya digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan Islam jika dilihat dari persamaannya. Sedangkan jika dilihat dari perbedaannya masjid jam’i dengan masjid biasa, masjid jam’I memiliki halaqoh-halaqoh, majelis-majelis dan zawiat-zawiat.

Kurikulum pendidikan di masjid biasanya merupakan tumpuhan pemerintah untuk memperoleh pejabat-pejabat pemerintah, seperti kodi, khotib, dan imam masjid. Melihat keterkaitan antara masjid dan kekuasaan dalam hal ini dapat dikatakan bahwa masjid merupakan lembaga pendidikan formal.

Pertumbuhan dan Perkembangan lembaga pendidikan masjid pada era awal kurang mendapat perhatian dari penguasa saat itu, karena penguasa telah memusatkan perhatian pada proses penyebaran agama dan perluasan wilayah. Lembaga ini tidak banyak terpengaruh oleh pasang surut politik pemerintahan.

4. SALOON

Saloon dalam bahasa Arab berarti sanggar seni menurut hasan ‘abd. Al-‘al seorang ahli pendidikan Islam alumni Universitas Thantha, menyatakan saloon ini telah berdiri pada masa Abbasiyah dengan nama Al- Shalunat al-Adabiyah, yaitu sanggar seni dan sastra. Beda dengan Harun Nasution bahwa saloon-saloon yang timbul dalam bentuknya yang bersahaja sudah mulai pada zaman bani umayyah, dan kemudian hidup dengan megahnya dizaman bani Abbas, adalah suatu perkembangan dari majelis-majelis khulafaur rasyidin, karena seorang kholifah dalam Islam adalah berfungsi mengatur urusan duniawi, dan berfatwa dalam urusan Agama. Karena itu, maka salah satu syarat-syarat yang terpenting adalah seorang kholifah haruslah berilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang memberi kemampuan kepadanya untuk berijtihad.[9]

Dalam segi bentuk pelaksanaannya saloon-saloon pada masa khulafaur rosyidin sebagai tempaat ajang membaur dengan rakyat untuk menyampaikan Fatwa dan sarana diskusi terhadap berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Saloon-saloon pada masa daulah umayah dan abbasiyah memiliki persamaan dengan masa khulafaur rosyidin, yaitu sebagai saran untuk mencerdaskan manusia dan penyiaran ilmu pengetahuan.

Dari segi perlengkapan saloon-saloon pada masa daulah bani umayyah dan abbasiyah sudah memiliki perabot yang indah. Menurut Abdi Robbih, “pada waktu itu bukan sembarangan yang dibolehkan menghadiri saloon-saloon, hanya lapisan tertentulah yang boleh menghadirinya. Peserta tidak mepunyai kebebasan memilih waktu yang disukainya untuk hadir atau meninggalkan, hadir sesuai dengan waktu yang ditentukan dan pulang setelah diberi tanda oleh kholifah. Misalnya, Muawiyyah bila dia menyebut malam setelah berlalu bangkitlah orang-oreng yang hadir disaloon itu”.

Disisi lain terlihat perbedaannya. Seperti yang dikutip oleh Harun Nasution masa khulafaur rosyidin adanya kemerdekaan penuh untuk menghadirinya ataumeninggalkannya. Bahkan kholifah sendiri biasa dipanggil “yaa amirul mukminin”, orang-orang yang menghadirinya atau meninggalkannya. Masing-masing saloon kesusastraan tersebut memiliki tata susila yang khusus dan kebiasaan yang sudah menjadi tradisional, sehingga setiap yang diperkenankan menghadapnya harus tunduk kepada aturan tersebut. Perkembangan dan kemajuan saloon tersebut sesuai dangan selera masing-masing kholifah. Bahkan kaita bandingkan sekaran saloon-saloon tersebut sudah setara dengan universitas sastra yang ada di dunia. Keberadaan saloon-saloon trsebut maju dan bertahan hingga akhit kholifah abbasyiah.

5. MADRASAH

Madrasah merupakan isim makan dari kata daosa yang berarti belajar. Jadi, madrasah berarti tempat belajar bagi siswa atau maha siswa (umat Islam). Karenanya istilah madrasah tidak hanya diartikan dalam arti sempit tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau , masjid dan lain-lain. Bahkan juga seorang ibu bisa dikatakan sebagai madrasah pemula.

Dalam sejarah pendidikan Islam, makna dari madrasah tersebut memegang peran penting sebagai institusi belajar umat Islam selama pertumbuhan dan perkembangannya. Sebab, pemakaian istilah mdrasah secara devinitif baru muncul pada abad ke sebelas. Penjelasan istilah madrasah merupakan transportasi dari masjid ke madrasah. Ada beberapa teori yang berkembang seputar proses transpormasi tersebut antara lain George Makdis (1981) menjelaskan bahwa madrasah merupakan transpormasi institusi pendidikan Islam dari masjid ke madrasah terjadi secara tidak langsung melalui tiga tahap: pertama tahap masjid. Kedua, tahap masjid-khan; dan ketiga, tahap madrasah.

Ahmad syalabi menjelaskan bahwa transformasi masjid ke madrasah terjadi secara langsung. Karena disebabkan oleh konsekuensi logis dari semakin ramainya kegiatan masjid yang tidak hanya dalam kegiatan ibadah namun juga pendidikan, politik, dan sebagainya[10]. Dilihat dari aspek historis, eksistensi madrasah baik pada abad klasik XXI tidak jauh berbeda. Dinamika madrasah yang tumbuh yang berakar dari kultur masyarakat setempat tidak akan luput dari dinamika dan perbedaan masyarakat. Tidak salah kalau banyak mensiyalir bahwa madrasah tumbuhan berkembang di bawah keatas. Kenyataan ini sering kali kita menemukan madrasah yang mati, namun tetap eksis dan sejalan dengan kehidupan masyarakat setempat, meskipun kehidupann sangat stagnasi.[11]

Madrasah sebagai salah satu institusi pendsidikan Islam merupakan pondasi sekaligus prototipe dari sistem kelanjutan pendidikan Islam (madrasah saat ini). Madrasah Nizam al-muluk, misalnya madrasah yang paling dikalangan ahli sejarah dan kalangan masyarakat Islam. Selanjutnya madrasah nizamiyah merupakan lembaga pendidikan resmi. Dalam perkembangan selanjutnya, madrasah nizomiyah dalam mencermati sekaligus mengaplikasikan sistem pendidikam Islam dewasa ini antara lain:

a. Madrasah sebagai institusi pendidikan Islam dijadikan sebagai saran menghidupkan mazhab-mazhab,

b. Madrasah sebagai institusi pendidikan Islam dijadikan sebagai sarana tempat mengembangkan ilmu-ilmu Islam antara lain : ilmu fiqh, Al- Qur’an, tafsir dll.

Dengan demikian, eksistensi madrasah pada era awal menjadi sejarah yang panjang selama perjalanan peradaban Islam, dan kontribusi terhadap lahirnya intelektual Islam. Ia merupakan transformasi institusi pendidikan Islam sebelumnya seperti, kuttab, rumah, masjid, dan saloon. Melalui institusi ini telah menumbuhkan kecintaan dan gairah pada intelektual Islam terhadap ilmu pengetahuan.[12]

2 komentar:

Unknown mengatakan...

daftar pustakanya mana?

Deddy Sussantho mengatakan...

assalamu'alaikum..
salam ukhuwah Islamiyah...

iya ukh, daftar pustakanya mana? tulisan ini sudah bagus. hanya saja belum lengkap tanpa adanya daftar pustaka.

jazakillah..