Rabi’ah al-‘adawiyah
Rabi’ah berasal dari basrah, beliau hidup dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang biasa dengan kehidupan orang saleh dan penuh zuhud, sejak kecil beliau sudah tampak kecerdasannya, sesuatu yang tak biasa tampak pada anak kecil seusianya. Oleh karena itu beliau amat sangat menyadari panderitaan dan keadaan yang dihadapi orang tuanya, kendatipun demikian tidak mengurangi ketaqwaan dan pengabdian beliau dan keluarga kepada Allah SWT. semasa kecil beliau cenderung pendiam dan tidak banyak menuntut kepada orang tuanya seperti gadis yang lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari beliau selalu memperhatikan bagaimana ayahnya beribadah kepada Allah, seperti berzikir, membaca Al-qur’an dan ibadah yang lainnya yang beliau teladani dari ayahnya, termasuk dalam hal memilih makanan yang halal, sampai suatu ketika Rabi’ah kecil berdiri di samping ayahnya yang hendak makan di meja makan, kemudian rabiah terdiam seolah meminta penjelasan dari ayahnya tentang makanan yang telah disajikan, kemudian rabiah berkata:”ayah, aku tidak ingin ayah menyediakan makanan yang tidak halal”, dengan wajah penuh heran ayahnya menatap wajah Rabiah kecil itu sambil bertanya balik:”bagaimana pendapatmu jika tidak ada yang diperoleh selain yang tidak halal?”, beliau menjawab:”biar saja kita menahan lapar di dunia, lebih baik kita menahan pedihnya api neraka”, ini membuktikan bahwa sejak kecil beliau sudah menunjukkan kematanagn pemikiran dan memiliki akhlak yang baik.
Beliau ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya ke rahmatullah di usianya yang masih kecil bersama ketiga orang saudara perempaunnya tanpa diwarisi sepeser uang pun, hanya perahu yang sehari-hari digunakan ayahnya untuk menyebrangi orang ke tepi sungai Dajlah. Semenjak itulah beliau selalu merasakan kesedihan yang amat sangat mendalam yang hanya bisa terobati ketika beliau beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT, sampai akhirnya beliau di datangi para malaikat yang bercahaya yang memberikan kabar bahwa beliau adalah orang pilihan Allah, dan sejak saat itu beliau memutuskan untuk tidak memperdulikan dunia dan memilih untuk mengabdi kepada Allah. Bahkan yang lebih hebat beliau memutuskan untuk tidak mau menikah karena alasan yang bersifat moral dan spiritual, sebagaimana hasan Al-bashri yang hendak bertanya kepada beliau tentang alasan kenapa beliau tidak mau menikah, beliau menjawab:”pernikahan merupakan keharusan bagi orang yang memiliki pilihan, sedangkan aku tidak ada pilihan dalam hatiku. Aku hanya untuk Tuhanku dan taat pada perintahNya”. Sedangkan dalam riwayat lain beliau ditanya kenapa memutuskan untuk tidak menikah, beliau menjawab:”di dalam hatiku terdapat tiga keprihatinan, barang siapa yang dapat melenyapkannya, maka aku akan mutuskan untuk menikah dengannya, yang pertama apabila aku mati, apakah ada yang bisa menjamin jika aku menghadap Allah dalam keadaan beriman dan suci?, kedua apakah ada yang bisa menjamin bahwa aku akan menerima catatan amalku dengan tangan kanan?, dan yang ketiga apakah ada yang mengetahu kalau nanti aku akan masuk golongan kanan (surga) atau kiri (neraka)? Jika tidak ada yang dapat menghilangkan rasa cemas dan keprihatinanku, maka bagaimana mungkin aku akan mampu berumah tangga, apalagi meninggalkan zikir kepada Allah, walaupun sekejap”.
Rasa cinta tak mungkin terwujud kecuali setelah tertanam keyakinan yang teguh, dan karena itu pula orang yang paling sempurna cintanya kepada Allah adalah Nabi Muhammad SAW sehingga orang-orang Arab memberikan julukan “Muhammad adalah kekasih Allah”. Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan bahwa cinta adalah jalan untuk merasakan kenikmatan iman, mengenai hal ini beliau bersabda:”ada tiga hal jika dimiliki seseorang, ia akan merasakan betapa nikmat dan manisnya iman. Pertama bahwa ia lebih mencintai Allah dan RasulNya dari pada apapun, yang kedua jika ia mencintai seseorang, maka cintanya karena Allah, dan yang ketiga ia benci menjadi kafir lagi setelah Allah menyelamatkannya seperti ia tidak senang dilempar ke dalam neraka”. Selain itu rasa cinta sulit sekali untuk didefinisikan, sebab perasaan yang terkandung di dalam sanubari manusia terlalu luas untuk didefinisikan, namun diantara tanda-tanda seorang yang cinta kepadaNya adalah selalu menyambut seruan orang yang dicintainya, melaksanakan segala yang diperintahNya, selain itu ia melepaskan dirinya dari ikatan dosa dan maksiat, lalu bergerak maju menuju yang maha esa, ingin selalu dekat padaNya dengan, selalu rindu padaNya, ingin selalu menghadap dan bermunajat padaNya dan jika berjauhan ia selalu merasa tersiksa.
Sedangkan kerinduan adalah keinginan hati untuk melihat kekasih, bagaikan api Allh yang dikobarkan di hati kekasihNya sehingga membakar kecemasan, nafsu yang terpendam di hati mereka. Bila seorang hamba telah mencapai batas kerinduan maka ia ingin segera menmui kekasihnya, sekan-akan ia ingin terbang menemuiNya. Kalau cinta sudah mencapai tingkat kerinduan, maka lama kelamaan perasaan itu berkembang menjadi cinta yang membara, sehingga bila mendengar nama Allah yang maha suci, bergetar seluruh jiwa raganya dan berkobar rasa rindu dalam hatinya. Bila kerinduan dan keinginan yang menggelora semakin besar, maka cinta pun akan meningkat pada derajat fana (tidak merasakan apa yang dilihat secara zohir, karena yang dirasakan hanyalah Allah semata) ia tidak lagi merasakan penderitaan, kepedihan, atau cobaan apapun yang menimpanya.[1]
Ja’far sulaiman, beliau menuturkan bahwa Sufyan ats-Sauri memegang tanganku dan berkata tentang Rabiatul adawiyyah: ‘bawalah aku kepada guru (Rabiah), sebab jika aku berpisah darinya maka aku tidak akan mendapatkan ketentraman”. Dan ketika kami sampai di rumah Rabi’ah, sufyan mengangkat tangannya dan berkata:”wahai tuhan, berilah aku keselamatan!”. Mendengar itu Rabi’ah menangis sambil berkata:”tidaklah engkau tahu bahwwa keselamatan sejati dari dunia hanya dapat dicapai dengan meninggalkan semua yang ada di dalamnya, jadi bagaimana kau bisa meminta seperti itu jikalau masih berlumuran dunia?”.
Syaiban al-ubulli menuturkan: aku mendengar Rabiah berkata “setiap sesuatu memiliki buah, dan buah pengetahuan tentang tuhan (marifat) adalah orientasi diri kepada tuhan setiap saat”. Dan dalam penuturan yang lain rabiah pernah ditanya tentang kecintaannya kepada nabi Muhammad SAW, beliau menjawab “sungguh aku cinta kepadanya, tetapi cinta kepada sang pencipta telah memalingkan aku dari cinta kepada makhluk”.
Muhammad bin washi pernah bertanya kepada Rabiah, kenapa kau (Rabiah) berjalan seperti orang mabuk (terduyun-duyun), Rabiah menjawab “semalam aku mabuk oleh cinta kepada tuhanku hingga aku bangun dalam keadaan mabuk karenanya”.
Sufyan ats-tsauri bertanya kepada Rabiah “bagaimanakah cara yang paling baik untuk mendekatkan diri kapada Allah?”, beliau menjawab sambil menangis;”cara yang terbaik bagi seorang hamba untuk mendekati Allah adalah dia harus tahu bahwa dia tidak boleh mencintai apapun di dunia atau diakhirat ini selain Dia”.[2]
Mengenai akhir hidup Rabiah, Muhammad bin Amr berkata, “Aku datang melihat Rabiah, ia seorang wanita yang sudah tua, berusia delapan puluh tahun, seolah-olah kelihatan seperti tempat air yang hampir jatuh dari gantungannya. Ketika ajalnya hampir tiba, ia memanggil Abdah binti Abi Shawwal yang telah menemaninya dengan baik, sehingga ia merupakan sahabatnya dan pembantunya yang paling baik dan setia. Kepada Abdah ia berpesan, “Janganlah kematianku sampai menyusahkan orang lain, bungkuslah mayatku dengan jubahku.
Rabiah memang tidak ingin menyusahkan orang lain. Beberapa orang saleh ingin mendampingi di saat-saat terakhirnya, tetapi Rabiah menolak didampingi pada saat-saat seperti itu. “bangunlah dan keluarlah !” lapangkanlah jalan untuk utusan Allah (malaikat) yang akan datang menjemputku.” Mereka bangkit lalu keluar. Ketika mereka menutup pintu, terdengar suara Rabiah mengucapkan syahadat, lalu dijawab oleh suara:
$pkçJr'¯»t ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuÅÊ#u Zp¨ÅÊó£D ÇËÑÈ Í?ä{÷$$sù Îû Ï»t6Ïã ÇËÒÈ Í?ä{÷$#ur ÓÉL¨Zy_ ÇÌÉÈ
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. masuklah ke dalam syurga-Ku.” (Al-Fajr : 27-30).
Rabiah telah membukakan jalan menuju ma’rifah Ilahi, sehingga ia menjadi teladan bagi orang-orang yang menuju jalan Allah, seperti Sofyan ats-Sauri, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar. Teladan yang ditinggalkan Rabiah masih terus hidup sepanjang masa bagi orang-orang yang menuju jalan Allah.[3]
Mahabbah
المحبّة :
أ) المبتداء : يتوالد ذلك من احسان الله تعالى اليهم وعطفه عليهم
ب) الخصوص : يتوالد من نظر القلب الى غناء الله وجلاله زعظمته وعلمه وقدرته وهو حبّ الصادقين والمتحققين
ت) الصادقين والعارفين : تولد من نظرهم ومعرفتهم بقديم حب الله تعالى بلا علة فكذ لك احبوه بلا علة
ث) المحبة : دخول صفات المحبوب على الحال من صفات المحبّ فهذا على معنى قوله :حتى احبه فإذا احببته كنت عينه التى يبصر بها وسمعه الذى يسمع به ويده التى يبطش بها
Mahabbah dimaksudkan di sini ialah mahabbatullah, cinta kepada Allah, sebagai kelanjutan daripada ma’rifah. Karena itulah maka setelah ma’rifah terhadap Allah yang membuahkan iman yang sebulat-bulatnya, setelah menyadari akan kemuliaan-Nya, kesempurnaan-Nya, keindahan-Nya dan kasih sayang-Nya, kemurahan-Nya serta sifat-sifat lain yang mengiring-Nya maka menjelmalah cinta kepada-Nya.
Mahabbah kepada Allah bukanlah sembarang cinta melainkan cinta yang menempati kedudukan yang tertinggi di atas segala cinta. Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab Fatawa, Mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah sebesar-besar kewajiban iman, cirinya orang yang beriman itu ialah terlebih cinta kepada Allah dibandingkan dengan cintanya kepada apapun dan siapapun[4]:
tûïÉ©9$#ur (#þqãZtB#uä x©r& ${6ãm °! ..... ÇÊÏÎÈ
“ Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah”
Menurut Al-gozali,cinta kepada Tuhan itu adalah maqam yang terakhir dan derajat yang paling tinggi, segala maqam yang sesudahnya adalah buahnya dan segala maqam yang sebelumnya adalah hanya pendahuluan untuk mencapai mahabbah.[5]
Rasa cinta kepada Tuhan itu sudah bergerak dalam hati seorang salik ketika ia mulai mengenal dirinya. Menurut Al-Ghazali, itulah daya penggerak yang mendorong seseorang bertaubat dari segala dosanya. Menurut Al-Palimbani, makrifah yang hakiki itu lahir dari rasa cinta (mahabbah); tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu hanya lahir dari makrifah. Dengan demikian, mahabbah dan makrifah itu adalah dua hal yang masing-masing merupakan sebab tetapi juga adalah akibat dari yang lain. [6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar